Negeri Ini Krisis Kepatuhan Hukum dan Hilanynya Wibawa Hukum


Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu saja ditemukan tarik-ulur kekuasaan, hukum dan demokrasi yang bersumber kepada keserekahaan terhadap kekuasaan pada hal keserakaahan pada hal tersebut tidak hanya melanggara prinsif-prinsif negara hukum, demokrasi dan hak-hak asasi manusia, namun juga dapat melanggara prinsif-prinsif hukum administrasi dan asas-asas umum pemerintahan yang layak.
            Good Government marak didengungkan akhir-akhir ini pada intinya merupakan implementasi asas-asas negara hukum dan asas-asas demokrasi, yang merupakan dua landasn hukum administrasi. Hal ini berarti pengejawantahan Good Government hanya mungkin ketika hukum administarsi berfungsi sebagai mana mestinya. Sebaliknya, jika hukum administrasi tidak berfungsi, Good Government hanya akan menjadi selogan atau hanya menjadi selogan komodita politik.
            Sejalan dengan intervensi pemerintah dalam hal semua dimensi kehidupan warga negara, pemahaman terhadap norma-norma hukum administari menjadi penting bukan saja untuk bagi aparatur pemerintahan tetapi juga untuk warga negara dan tidak kalah pentingnya bagi negara penegak hukum.
Negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of  law), Konsep socialist legality, dan konsep Negara hukum Pancasila.[1]Konsep-konsep Negara hukum ini memiliki dinamika sejarahnya masing-masing, khususnya Negara Eropa continental (rechtsstaat) yang memiliki kaitan dengan kemunculan ilmu Hukum Administrasi Negara.
Gagasan Negara hukum telah di kemukakan oleh Plato, “bahwa penyelenggaraan Negara hukum yang baik ialah yang di dasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.[2] Dan diikuti oleh Aristoteles, Menurutnya “Suatu Negara yang baik ialah Negara yang di perintah dengan Konstitusi dan berkedaulatan Hukum. Menurutnya ada tiga unsur pemerintah yang berkonstitusi, yaitu: Pertama, Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; Kedua, Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; Ketiga, Pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan atau tekanan yang dilaksanakan pemerintah despotik. Dalam kaitannya dengan konstitusi  aristoteles mengatakan, Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu Negara dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat, Konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur Negara menurut aturan-aturan tersebut.[3]
Salah satu unsur Negara hukum menurut Stahl, unsur-unsur Negara Hukum  (Rechtsstaat) adalah sebagai berikut :
a.       Perlindungan Hak-hak asasi manusia;
b.      Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
c.       Pemerintahan berdasarkan perundang-undangan dan
d.        Peradilan Administrasi dalam Perselisihan.[4]
Meskipun tidak semua Negara yang`memiliki konsistitusi diilhami oleh semangat individualisme. Dengan kata lain esensi dari Negara berkonstitusi adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Pakar Sosiologi Hukum Prof.DR. Satjipto Raharjo, dalam bukunya “Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Penerbit Kompas, 2003”, secara implisit menyimpulkan bahwa, adanya perasaan tidak bersalah, sekalipun putusan judex factie ( PN dan PT) telah menyatakan yang bersangkutan bersalah, merupakan preseden buruk bagi tegaknya budaya hukum di negeri ini”. Pandangan kritis pakar sosiologi hukum itu patut menjadi renungan kita bersama, sebab di dalamnya terkandung pesan yang sangat dalam mengenai perlunya kita mentradisikan budaya hukum di negeri ini, karena tanpa tertanam budaya hukum mustahil dapat ditegakkan hukum yang berkeadilan.
Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada hukum tersebut. Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan hal yang substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini, dan apakah sebenarnya kepatuhan hukum itu ?.
Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang melahirkan bentuk “kesetiaan” masyarakat luas yang didalamnya meliputi (Pejabat, Aparatur Sipil dan Rakyat Biasa) terhadap nilai-nilai hukum yang diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan dirasakan oleh sesama anggota masyarakat.
Sekiranya Perlu kita tegaskan lagi, bahwa kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesadaran dan kesetiaan masyarakat entah Itu Pejabat, Aparatur Sipil, Penegak dan Rakyat terhadap hukum yang berlaku sebagai aturan main (rule of the game) sebagai konsekuensi hidup bersama, dimana kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya patuh pada hukum ( antara das sein dengan das sollen dalam fakta adalah sama) . dan terlepas dari itu Pejabat, Aparatur Sipil, dan Rakyat haruslah memiliki pemahaman tugas dan fungsinya didarkan kepada peraturan yang ada, taat kepada hukum bukan hanya untuk golongan tertentu saja, dan jangan tebang pilih atau kebal hukum terhadap golongan tertentu.
Secara dilematis jika di dalam masyarakat banyak kita dapatkan bahwa masyarakat tidak patuh pada hukum hal ini dikarenakan individu dan masyarakat kurangnya memahami apa itu hukum di negeri ini, sedikitnya informasi yang didapatkan rakyat yang di pinggiran. Dan kedua masyarakat kenapaah tidak taat pada hukum, dikarenakan rakyat tahu betul hukum dan aturan mainnya, tapi rakyat melihat dengan sadar banyak ketimpangaan dan banyak ketidak adilan yang di contohkan para pejabat negara, bagi penulis ini menjadi dasar nestapa mengaapa masyarakat tidak taat pada hukum, sehharusnya elit memberikan contoh terlebih dahulu pada rakyat tentang taat pada hukum karena elit memahami betul tentang hukum itu sendiri.
Ditambah lagi hukum dalam penegakannya mereka nilai tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik, penegakan hukum dirasakan diskriminatif . Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum.
Wibawa hukum akan dapat dirasakan jika kita punya komitmen kuat, konsisten dan kontiniu menegakkan hukum tanpa diskriminatif, siapapun harus tunduk kepada hukum, penegakan hukum tidak boleh memihak kepada siapapun dan dengan alasan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah letak wibawa hukum dan keadilan hukum.
Namun jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, penuh rekayasa politis, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya melalui jalur kekerasan atau hukum rimba atau kekerasan fisik (eigen rechting). Dalam banyak fakta sekarang ini Indonesia telah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansi tujuannya, dan buadaya prilaku masyarakat telah memandang hukum ditegakkan secara diskriminatif dan memihak kepada kepentingan tertentu bagi orang-orang berduit, dan berkuasa. Quo Vadis Penegakan Hukum Indonesia.
Hemat penulis negara hukum Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republic di Indonesia Tahun 1945 “Negara hukum Indonesia adalah Negara hukum”, yang menuntut desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai Negara yang menganut desentralisasi mengandung arti bahwa urusan pemeirintah itu terdiri atas urusan pemerintahan pusat dan urusan pemerintahan daerah. Dengan merujuk pada konsep Negara hukum yang di selenggarakan melelui mekanisme demokrasi, Indonesia tergolong pula sebagai Negara hukum demokrasi.[5]
Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah.[6]Pada masa sekarang ini hampir semua.[7] Banyak kasus yang durasi waktu penyelesaiannya lama entah memang karena prosesnya memang lama atau ada unsur rekayasa, banyak juga kasus kita saksikan bersama apabila ada kasus naik kepermukaan dan  lambat laun hilang tanpa jejak dan masih banyak deretan lainnya. Penulis hanya bertanya Apakah Negra Ini Sedang Sakit?, Apakah Hukum Di Negara Ini Menjadi komoditas?, Atau Masih Banyak Pejabat Yang Menyalah Gunakan Wewenangnya? Dan apabila ini terjadi ini menandakan bahwa Undang-undang telah hilang dalam diri bangsa ini?
Bandung, 09 Mei 2018 Yadi Jayadi


[1] Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 63.
[2]Ibid., hlm. 66.
[3] Dikutip dari Azhary, Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1995 hlm. 20-21.
[4]Dikutip dari Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 57-58, Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina ilmu,1987), hlm. 76-82.
[5] Kenyataan bahwa Indonesia adalah sebagai hukum demokratis dikemukakan oleh bagir manan, hubungan antara pusat dan daerah berdasarkan asas desentralisasi menurut UUD 1945, disertai, (Bandung: Universitas Padjadjaran 1990),Hlm .245.
[6] Philipus M. Hadjon, ide Negara hukum dalam system ketatanegaraan republic Indonesia, Makalah pada symposium politik, Hak asasi, dan pembangunan, dalam rangka Dies Natalis Universitas Airlangga Surabaya, 3 November 1994, Hlm .6.
[7] Meskipun sama-sama bernaung di bawah system hukum continental, akan tetapi perbedaan-perbedaan hukum tata Negara dan Hukum Administrasi ini tidak dapat dihindarkan terutama karena sebab-sebab tersebut di atas. Informasi lebih lanjut tentang perbedaan-perbedaan ini dapat dilihat pada L. Prakke en C.A.J.M. Kortmaan, Het Bestuurecht van de landender Europese Gemeenschappen, Kluwer-Deventer, 1988.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”