Kesalahan Kita Terletak Pada Sikap Indonesia Yang Kelewat Mengagumi Pasar-Bebas
Kesejahteraan rakyat
dalam sebuah Negara terkadang menjadi suatu tolak ukur keberhasilan Negara
tersebut. Dikatakan demikian karena rakyat merupakan unsur penting dalam suatu
Negara. Pengertian rakyat sendiri merupakan kumpulan beberapa orang yang tinggal
di daerah pemerintahan yang sama, dan memiliki ideologi yang sama pula. Selain
itu, rakyat juga memiliki kewajiban serta hak yang sama. Yang mana hal
tersebut jika diperlukan bisa digunakan untuk membela Negara yang di
tempatinya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa jika tidak ada rakyat, maka suatu
pemerintahan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
Sekali lagi, siapa yang disebut
“rakyat”? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan secara sinis oleh
sekelompok orang yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang
konglomerat juga rakyat, Tentu! Namun yang jelas perekonomian konglomerat
bukanlah perekonomian rakyat.
Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada
yang melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula
yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini
tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dari
itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang
dituding dalam mengatasnamaan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya
memahami arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya.
“Rakyat”
adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak
harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat
berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan
orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif
atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public
interest” atau “public wants”,
yang berbeda dengan “private interest”
dan “private wants”. Sudah lama pula
orang mempertentangkan antara “individual
privacy” dan “public needs” (yang
berdimensi domain publik). Ini analog dengan pengertian bahwa “social preference” berbeda dengan hasil
penjumlahan atau gabungan dari “individual
preferences”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang
bersifat “publik” itu.
Mereka
yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood, bukan kinship)
pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari
istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei”, di mana rakyat
lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk”
yang 210 juta. Rakyat atau “the people”
adalah jamak (plural), tidak tunggal
(singular).
Kesalahan
utama kita dewasa ini terletak pada sikap Indonesia yang kelewat mengagumi
pasar-bebas. Kita telah “menobatkan” pasar-bebas sebagai “berdaulat”, mengganti
dan menggeser kedaulatan rakyat. Kita telah menobatkan pasar sebagai “berhala”
baru.
Mengapa
tidak sebaliknya bahwa pasarlah yang harus bersahabat kepada rakyat, petani,
nelayan, dst dst. Mengapa pasar di Jepang dapat diatur bersahabat dengan petani
Jepang, sehingga beras di Jepang per kilo yang mencapai harga rupiah sebesar
Rp. 30.000,- para importir Jepang tidak mengimpor beras murah dari luar negeri.
Mengapa pula kita harus “memperpurukkan” petani-petani kita, justru ketika kita
petani sedang panen padi, kita malah mengimpor beras murah dari luar negeri?
Siapakah
sebenarnya pasar itu? Bukankah saat ini di Indonesia pasar adalah sekedar (1)
kelompok penyandang/ penguasa dana
(penerima titipan dana dari luar negeri/komprador, para pelaku KKN, termasuk
para penyamun BLBI, dst); (2) para penguasa stok barang (termasuk penimbun dan
pengijon); (3) para spekulan (baik di pasar umum dan pasar modal); dan (4)
terakhir adalah rakyat awam yang tenaga-belinya lemah. Pada hakekatnya yang
demikian itu ramah kepada pasar adalah ramah kepada ketiga kelompok pertama
sebagai pelaku utama (baca: para penguasa pasar dan penentu pasar).
Oleh
karena itu pasar harus tetap dapat terkontrol, terkendali, not to fully rely-on[1],
tetapi sebaliknya pasarlah, sebagai “alat” ekonomi, yang harus mengabdi kepada
negara.
Apabila
pasar tidak dikontrol oleh negara, apabila pasar kita biarkan bebas sehingga
pasar-bebas kita jadikan “berhala” dan kita nobatkan sebagai berdaulat, maka
berarti kita membiarkan pasar menggusur kedaulatan rakyat. Undang-Undang Dasar
1945 jelas menegaskan rakyatlah yang berdaulat, bukan pasar.
Demikian itulah, apabila kita ingin
mempertahankan kedaulatan rakyat, maka Pasal 33 UUD 1945 hendaknya tidak
dirubah, “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” adalah kata-kata dan makna
mulia yang harus tetap dipertahankan. Menghilangkan “usaha bersama” dan “asas
kekeluargaan” bisa diartikan sebagai
mengabaikan nilai-nilai agama, mengabaikan moralitas ukhuwah di dalam berperikehidupan yang
menjadi kewajiban agama.
Bandung,
16 Mei 2018
Penulis
Sunyi
[1] Lihat Sri-Edi Swasono “Pasar-Bebas
yang Imajiner: Distorsi Politik dan Pertentangan Kepentingan Internasional”, Mimeo, Kantor Menko Ekuin, 21 Maret
1997.
Komentar
Posting Komentar