HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur Mata Kuliah
Hukum Perdata dibawah bimbingan Bapak Yuyu Wahyu, S.Sos, M.H.
 






Disusun Oleh:
Yadi Jayadi                       : 1123040045             

Perbandingan Madzhab dan Hukum ( PMH / III / B )
Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati
Bandung
2013


A.      HUKUM BENDA DAN HAK KEBENDAAN

1.      Pengertian Benda

Benda (zaak)secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik (pasal 499 BW). Berdasarkan pengertian tersebut maka segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki orang bukuanlah termasuk pengertian benda menurut BW buku II, seperti bulan, bintang, laut, udara, dan lain sebagainya.

2.      Perbedaan Macam-Macam Benda

Benda sebagai obyek hukum tersebut dibagi menjadi 2, yaitu benda berwujud dan benda yang tidak berwujud. Namun menurut sistem hukum adat tidak dikenal benda yang tidak berwujud, karena pandangan hukum adat hak atas suatu benda tidak dibayangkan tidak terlepas dari benda yang berwujud.
Menurut sistem hukum perdata barat sebagaimana diatur dalam BW benda dapat dibedakan atas:
a.    Benda tidak bergerak (pasal 505-508 BW) ada 3 golongan:
·      Benda yang menurut sifatnya tidak bergerak.
·      Benda yang menurut tujuan pemakaiannya supaya bersatu dengan benda tidak bergerak. Misalnya: mesin pabrik, ikan dalam kolam, segala kaca, dan barang reruntuhan dari suatu bangunan apabila dimaksudkan untuk dipakai guna mendirikan lagi bangunan.
·      Benda yang menurut Undang-Undang sebagai benda tidak bergerak, seperti: hak-hak atau perniagaan mengenai suatu benda tidak bergerak, kapal yang berukuran 20 meter kubik ke atas (dalam hukum perniagaan).

b.    Benda bergerak (pasal 509-511 BW) ada 2 golongan:
·      Benda yang menurut sifatnya bergerak, misalnya sepeda, kursi, meja.
·      Benda yang menurut Undang-Undang sebagai benda bergerak, misalnya memetik hak hasil dan hak memakai.
c.  Benda yang musnah, yaitu benda-benda yang dalam pemakaiannya akan musnah, kegunaan dari benda-benda ini justru terletak pada kemusnahannya, misalnya: makanan dan minuman, kayu bakar dan arang.
d.  Benda yang tetap ada, yaitu benda-benda yang dalam pemakaiannya tidak mengakibatkan benda itu menjadi musnah, tetapi memberi manfaat bagi si pemakai, misalnya: cangkir, sendok, mobil.
e.  Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti
Perbedaannya tidak disebutkan secara jelas dalam BW, tetapi perbedaan itu ada dalam BW, misalnya dalam pasal yang mengatur perjanjian penitipan barang, pasal 1694 dan pasal 714 titipan berupa uang.
f.  Benda yang dapat dibagi adalah benda yang apabila dibagi tidak mengakibatkan hilangnya hakikat daripada benda itu sendiri, misalnya: beras, gula pasir.
g.  Benda yang tidak dapat dibagi adalah benda yang apabila wujudnya dibagi mengakibatkan hilangnya hakikat benda itu sendiri, misalnya: kuda, sapi, uang.
h.  Benda yang diperdagangkan adalah benda-benda yang dapat dijadikan obyek suatu perjanjian.
i.   Benda yang tidak dapat diperdagangkan adalah benda-benda yang tidak dapat dijadikan obyek (pokok) suatu perjanjian.
j.   Benda yang terdaftar dan benda yang tidak terdaftar
Benda-benda yang harus didaftarkan diatur dalam berbagai macam peraturan yang terpisah-pisah seperti peraturan tentang pendaftaran tanah, kapal, kendaraan bermotor, dan lain sebagainnya.

3.      Pengertian Hak Kebendaan

Hak kebendaan (hak atas benda) adalah hak mutlak atas suatu benda yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan oleh siapapun juga.
4.      Pembedaan Hak Kebendaan
Dalam buku II BW hak kebendaan dibagi menjadi 2 macam yaitu:
a.       Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan.
Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijk genotsrecht) mengenai tanah yang diatur dalam BW, dengan berlakunya UUPA (Undang-undang No. 5 Tahun 1960) tanggal 24 september 1960, dinyatakan tidak berlaku lagi.Hak kebendaan yang memberi kenikmatan, terbagi kembali atas:
a)      Hak kebendaan yang memberi kenikmatan atas benda sendiri.
Contoh: Hak Milik
b)      Hak kebendaan yang memberi kenikmatan atas barang milik orang lain.
Contoh: Bezit
Bezit adalah suatu keadaan dimana seseorang menguasai suatu benda, baik sendiri maupun perantara orang lain, seolah-olah benda itu miliknya sendiri. Orang yang menguasai benda itu disebut bezitter. Unsur adanya bezit yaitu: Unsur keadaan dimana seseorang menguasai suatu benda (corpus); dan unsur kemauan orang yang menguasai benda tersebut untuk memilikinya (animus).
Bezit mempunyai 2 macam fungsi, yaitu:
1.      Fungsi polisionil bezit, maksudnya bezit mendapat perlindungan hukum tanpa memandang siapa sebenarnya pemilik benda itu. Fungsi polisinil ini ada pada setiap bezit.
2.      Fungsi Zakenrechtelijk, maksudnya setelah bezit berjalan beberapa waktu tanpa adanya protes, bezit itu berubah menjadi eigendom, yaitu dengan cara melalui lembaga verjaring. Fungsi ini tidak ada pada setiap bezit.
Cara memperoleh bezit ada 2 macam, yaitu:
1.      Dengan bantuan orang lain yang membezit terlebih dahulu. Yaitu dengan jalan Traditio (penyerahan bendanya). Dari bezitter yang lama kepada bezitter yang baru. Jalan ini bersifat derivatief
2.      Dengan tanpa bantuan orang lainyang membezit lebih dahulu, yaitu dengan Occupatio (pengambilan bendanya). Pengambilan bendanya bisa terhadap benda yang tidak ada pemiliknya (res nullis), misalnya: ikan di sungai.
Bezit akan berakhir karena hal-hal yang disebutkan dalam pasal 543 sd 547 BW yaitu:
1.      Karena bendanya diserahkan sendiri oleh bezitter kepada orang lain.
2.      Karena bendanya diambil orang lain dari kekuasaan Bezitter dan kemudian selama satu tahun tidak ada gangguan apapun juga.
3.      Karena bendanya telah dibuang (dihilangkan) oleh bezitter.
4.      Karena bendanya tidak diketahui lagi dimana adanya.
5.      Karena bendanya musnah.

b.      Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan.
Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan selalu tertuju pada benda orang lain, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Jika benda yang menjadi obyek jaminan itu bergerak dinamakan gadai (Pand) dan apabila tidak bergerak dinamakan Hipotik.
a.       Hak Gadai
Gadai yaitu suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu benda bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas debitur sebagai jaminan pembayaran dan pemberian hak kepada kreditur untuk mendapatkan pembayaran lebih dahulu daripada kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda jaminan (pasal 1150 BW).Unsur terpenting dari hak gadai adalah bahwa benda yang dijaminkan harus berada dalam kekuasaan pemegang gadai (pasal 1152 BW). Namun penguasaan benda oleh pemegang gadai bukan untuk menikmati, memakai dan memungut hasil, melainkan hanya untuk menjadi jaminan pembayaran hutang.
Obyek dari hak gadai adalah benda bergerak meliputi benda berwujud dan benda tidak berwujud berupa hak untuk mendapatkan pembayaran uang yang berwujud surat-surat berharga.
Subyek hak gadai seperti halnya perbuatan-perbuatan yang lain, memberi dan menerima hak gadai hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Dan bagi pemegang gadai berhak mengasingkan (menjual, menukar, mengibahkan) barang yang digadaikan.
Cara mengadakan hak gadai berasarkan atas suatu perjanjian antara kreditur dan debitur. Perjanjian itu dapat dilakukan dengan tertulis (otentik dibawah tangan) dan dapat dibuat secara lisan (pasal 1151 BW). Setelah itu penyerahan benda yang digadaikan. Sebab-sebab hapusnya hak gadai: (1) karena hapusnya perjanjian, (2) perintah pengembalian benda lantaran penyalahgunaan dari pemegang gadai, (3) barangnya dikembalikan sendiri oleh pemegang gadai kepada pemberi gadai, (4) pemegang gadai menjadi pemilik benda yang digadaikan, (5) karena dieksekusi oleh pemegang gadai, (6) karena lenyapnya benda, (7) karena hilangnya benda.

b.      Hipotik
Hipotik dirumuskan dalam pasal 1162 BW yaitu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. Artinya hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan kepada kreditur bahwa piutangnya akan dilunasi oleh debitur tepat pada waktu yang dijanjikan.Didalam hipotik lazim diadakan janji-janji (bedingen) yang bertujuan melindungi kepentingan kreditur pemegang hipotik agar tidak dirugikan. Janji-janji seperti ini secara tegas dicantumkan dalam akta pembebanan hipotik, yaitu: (a) janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri (pasal 1178 BW), (b) janji tentang sewa (pasal 1185 BW), (c) janji tentang asuransi (pasal 297 WvK) dan (d) janji untuk tidak dibersihkan.
Hapusnya Hipotik dalam pasal 1209 BW disebutkan hal-hal yang menyebabkan hapusnya hipotik, yaitu: (1) karena hapusnya perikatan pokok (hapusnya perjanjian utang piutang), (2) karena pelepasan hipotiknya oleh kreditur, (3) karena penetapan tingkat oleh hakim.


B.   HUKUM PERIKATAN

1.      Pengertian Perikatan
Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak lain (debitur) berkewajiban memenuhi kewajiban itu. Apakah semua hubungan hukum merupakan perikatan dalam pengertian hukum atau tidak, para sajana menggunakan ukuran dapat tidaknya dinilai dengan uang. Tetapi ini tidak bisa dipertahankan lagi karena masih ada selain itu mempunyai akibat hukum seperti tercemarnya nama baik atau cacat tubuh seseorang karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) orang lain, walaupun begitu ukuran dapat tidaknya dihitung dengan uang tetap ada karena hubungan hukum yang bisa dinilai dengan uang selalu merupakan perikatan.
Subyek perikatan adalah kreditur dan debitur. Kreditur harus tahu identitas debitur karena tentu tidak dapat menagih pemenuhan prestasi kepada debitur yang tidak dikenal, sedangkan debitur tidak harus tahu identitas kreditur.
Obyek perikatan yang merupakan hak kreditur dan kewajiban debitur biasanya dinamakan prestasi. Menurut pasal 1234 BW prestasi itu dapat member sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Apa yang dimaksud dengan sesuatu disini bergantung kepada maksud tujuan daripada para pihak yang mengadakan hubungan hukum. Perkataan sesuatu tersebut bisa berbentuk materiil (berwujud) dan dalam bentuk immaterial (tidak berwujud).
Prestasi dari suatu perikatan harus memenui syarat-syarat sebagai beikut di bawah ini:
a.    Harus diperkenankan ,tidak boleh bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan kesusilaan (pasal 1335 dan 1337 BW)
b.    Harus tertentu dan dapat ditentukan, artinya harus terang dan jelas (pasal 1320 ayat (3) dan 1333 BW)
c.    Harus mungkin dilakukan, artinya mungkin dilaksanakan menurut kemampuan manusia. Jika perstasinya secara obyektif tidak mungkin dilaksanakan. Tidak akan timbul perikatan, dan jika prestasinya subyektif tidak mungkin dilakukan, tidaklah demikian.

2. Pengaturan Hukum Perikatan
Hukum perikatan diatur dalam buku III BW yang terdiri dari 18 Bab (titel) ditambah dengan title VIII A dengan sistematik sebagai berikut:
BAB I (pasal 1233 s.d. 1312) tentang perikatan-perikatan pada umumnya.
BAB II (pasal 1313 s.d. 1380) tentang perikatan yang timbul dari perjanjian.
BAB III (pasal 1352 s.d. 1380) tentang perikatan yang timbul karena UU.
BAB IV (pasal 1381 s.d. 1456) tantang hapusnya perikatan.
BAB V s.d. XVIII ditambah BAB VII A (pasal 1457 s.d. 1864) tentang perjanjian-perjanjian khusus.
Dalam hukum perikatan bahwa antara perikatan yang bersumber pada perjanjian dan perikatan yang bersumber pada UU pada hakikatnya tidak ada perbedaan, sebab meskipun perikatan bersumber pada perjanjian pada hakikatnya baru mempunyai kekuatan sebagai kekuatan karena diakui UU dankarena mendapat sanksi dari UU.
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya bolehmembuat kontrak (perjanjian) yang berisi apapun asal tidak bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dengan adanya kebebasan berkontrak kedudukan rangkaian pasal-pasal buku III BW khususnya pasal-pasalpada title D s.d. XVIII banyak yang bersifat sebagi hukum pelengkap saja, artinya boleh dikesampingkan sekiranya para pihak pembuat perjanjian menghendakinya.

3. Syarat-Syarat Perjanjian
Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian disebutkandalam pasal 1320 BW yaitu:
a.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, dengan tidak ada paksaan kekeliruan dan penipuan. Persetujuan dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam.
b.    Cakap untuk membuat suatu perjanjian. Dengan ketentuan sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untu melakukan suatu perbuatan tertentu.
c.    Suatu hal tertentu, dalam hal perjanjian adalah barang menjadi obyek suatu perjanjian, tertentu maksudnya bendanya bisa ditentukan jenisnya sebang jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan (pasal 1333 BW)
d.   Suatu sebab yang halal, diatur dalam pasal 1335 BW menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.




4.  Macam-Macam Perikatan

Menurut ilmu pengetahuan perdata perikatan dapat dibedakan atas:
1.  Menurut isi daripada prestasinya:
a. Perikatan positif dan negative.
Perikatan positif adalah perikatan yang prestasinya berupa perbuatan nyata, misalnya memberi atau berbuat sesuatu. Sedangkan pada perikatan negative prestasinya berupa tidak berbuat sesuatu.

b. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan.
Adakalanya untuk pemenuhan perikatan cukup hanya dilakukan dengan salah satu perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai, misalnya perikatan untuk menyerahkan barang yang dijual dan membayar harganya.

c. Perikatan-perikatan semacam ini disebut perikatan sepintas lalu. Sedangkan perikatan, dimana prestasinya bersifat terus menerus dalam jangka waktu tertentu, dinamakan perikatan berkelanjutan. Misalnya perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan sewa menyewa atau persetujuan kerja.

d. Perikatan alternative.
Perikatan alternative adalah suatu perikatan, dimana debitur berkewajiban melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih, baik menurut pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga, dengan pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah satu prestasi mengakhiri perikatan.
Menurut pasal 1272 BW, bahwa dalam perikatan alternative debitur bebas dari kewajibannya, jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan. Misalnya, A harus menyerahka kuda atau sapinya kepada B. pasal tersebut adlaah tidak lengkap, karena hanya mengatur tentang “memberikan sesuatu” dan yang dapat dipilih hanya diantara dua barang saja. Kekurangan tersebut dilengkapi oleh pasal 1277 BW, yang mengatakan : asas-asas yangs ama berlaku juga, dalam hal jika ada lebih dari dua barang yang termasuk ke dalam perikatan yang terdiri dari berbuat atau tidak berbuat sesuatu.


e. Perikatan fakultatif.
Perikatan fakultatif adalah suatu perikatan yang objeknya hanya berupa satu prestasi, dimana debitur dapat mengganti dengan prestasi lain. Jika pada perikatan fakultatif, karena keadaan memaksa prestasi primairnya tidak lagi merupakan objek perikatan, maka perikatannya menjadi hapus. Berlainan halnya pada perikatan alternative, jika salah satu prestasinya tidak lagi dapat dipenuhi karena keadaan memaksa, perkataannya menjadi murni.

f. Perikatan generic dan spesifik.
Perikatan generic adalah perikatan dimana objeknya ditentukan menurut jenis dan jumlahnya. Sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan yang objeknya ditentukan secara terperinci. Arti penting perbedaan antara perikatan generic dan spesifik adalah dalam hal :
·         Resiko
Pada perikatan spesifik, sejak terjadinya perikatan barangnya menjadi tanggungan kreditur. Jadi jika bendanya musnah karena keadaan memaksa, maka debitur bebas dari kewajibannya untuk berprestasi (pasal 1237 dan 1444 BW).
·         Tempat pembayarannya (pasal 1393)
Pasal 1393 BW menentukan bahwa jika dalam persetujuan tidak ditetapkan tempat pembayaran, maka pemenuhan prestasi mengenai barang tertentu berada sewaktu persetujuan dibuat. Sedangkan pembayaran mengenai barang-barang generic harus dilakukan ditempat kreditur.

g. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung apakah prestasinya dapat dibagi-bagi atau tidak. Pasal 1299 BW menentukan bahwa jika hanya ada satu debitur atau satu kreditur prestasinya harus dilaksanakan sekaligus, walaupun prestasinya dapat dibagi-bagi. Baru timbul persoalan apakah perikatan dapat dibagi-bagi atau tidak jika para pihak atau salah satu pihak dan pada perikatan terdiri dari satu subjek. Hal ini dapat terjadi jika debitur atau krediturnya meninggal dan mempunyai ahli waris lebih dari satu.
Akibat daripada perikatan yang tidak dapat dibagi-bagi, adalah bahwa kreditur dapat menuntut terhadap setiap debitur atas keseluruhan prestasi atau debitur dapat memenuhi seluruh prestasi kepada salah seorang kreditur, dengan pengertian bahwa pemenuhan prestasi menghapuskan perikatan.

2.  Menurut mulai berlakunya dan berakhirnya
a.  Perikatan bersyarat
Suatu perikatan adalah bersyarat, jika berlakunya atau hapusnya perikatan tersebut berdasarkan persetujuan digantungkan kepada terjadi atau tidaknya suatu peristiwa yang akan datang yang belum tentu terjadi. Dalam menentukan apakah syarat tersebut pasti terjadi atau tidak harus didasarkan kepada pengalaman manusia pada umumnya. Menurut ketentuan pasal 1253 BW bahwa perikatan bersyarat dapat digolongkan ke dalam :
·         Perikatan bersyarat yang menangguhkan
Pada perikatan bersyarat yang menangguhkan, perikatan baru berlaku setelah syaratnya dipenuhi. Misal : A akan menjual rumahnya kepada B, jika A diangkat menjadi duta besar. Jika syarat tersebut dipenuhi (A menjadi duta besar), maka persetujuan jual beli mulai berlaku. Jadi A harus menyerahkan rumahnya dan B membayar harganya.
·         Perikatan bersyarat yang menghapuskan
Pada perikatan bersyarat yang menghapuskan, perikatan hapus jika syaratnya dipenuhi. Jika perikatan telah dilaksanakan seluruhnya atau sebagian, maka dengan dipenuhi syarat perikatan, maka :
1. Keadaan akan dikembalikan seperti semula seolah-olah tidak terjadi perikatan.
2. Hapusnya perikatan untuk waktu selanjutnya.
Dapat dikemukakan sebagai contoh bahwa perikatan yang harus dikembalikan dalam keadaan semula, adalah misalnya A menjual rumahnya kepada B dengan syarat batal jika A menjadi Duta Besar. Jika syarat tersebut dipenuhi, maka rumah dan uang harus dikembalikan kepada masing-masing pihak.

b.  Perikatan dengan ketetapan waktu
Perikatan dengan ketentuan waktu adalah perikatan yang berlaku atau hapusnya digantungkan kepada waktu atau peristiwa tertentu yang akan terjadi dan pasti terjadi. Waktu atau peristiwa yang telah ditentukan dalam perikatan dengan ketentuan waktu itu pasti terjadi sekalipun belum diketahui bila akan terjadi. Jadi dalam menentukan apakah sesuatu itu merupakan syarat atau ketentuan waktu, harus melihat kepada maksud dari pada pihak. Perikatan dengan ketentuan waktu dapat dibagi menjadi :
·         Ketentuan waktu yang menangguhkan
Menurut beberapa penulis ketentuan waktu yang menanggungkan, menunda perikatan yang artinya perikatan belum ada sebelum saat yang ditentukan terjadi. Lebih tepat kiranya apa yang telah ditentukan oleh pasal 1268 BW bahwa perikatannya sudah ada, hanya pelaksanaannya ditunda. Debitur tidak wajib memenuhi prestasi sebelum waktunya tiba, akan tetapi jika debitur memenuhi prestasinya, maka ia tidak dapat menuntut kembali.
·         Ketentuan waktu yang menghapuskan
Mengenai ketentuan waktu yang menghapuskan tidak diatur oleh masing-masing secara umum. Memegang peranan terutama dalam perikatan-perikatan yang berkelanjutan, misalnya pasal 1570 dan pasal 1646 sub 1 BW. Dengan dipenuhi ketentuan waktunya, maka perikatan menjadi hapus. Seorang buruh yang mengadakan ikatan kerja untuk satu tahun, setelah lewat waktu tersebut tidak lagi berkewajiban untuk bekerja.

5.  Perikatan yang Bersumber dari Undang-Undang
Diatur dalam UU buku III BW title III (pasal 1352 s.d. 1380), dalam pasal 1352 dijelaskan perikatan yang bersumber dari UU dibedakan menjadi dua, yaitu bersumber dari UU saja dan perikatan yang bersumber dari UU karena perbuatan manusia.
Untuk dapat dipertanggungjawabkan orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum, pasal 1365 BW mensyaratkan adanya kesalahan dan tidak membedakan antara dalam bentu kesengajaan (Opzet/ Dolus) maupun keselahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa), berbeda dengan hukum pidana.
Kerugian yang disebakan oleh perbuatan melanggar hukum dapat berupa kerugiam materiil dan dapat berupa Immateriil.

6.    Hapusnya Perikatan
Hal-hal yang mengakibatkan hapusnya perikatan dalam BW disebutkan dalam pasal 1380 adalah:
1.         Karena pembayaran
2.         Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan dan penitipan.
3.         Karena pembaharuan uang.
4.         Karena perjumpaan utang atau kompensasi.
5.         Karena percampuran uang tunai.
6.         Karena percampuran utang
7.         Karena pembebasan utang.
8.         Karena kebatalan dan pembatalan.
9.         Karena berlakunya syarat batal.
10.     Karena lewat waktu

C.   HAK MILIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UU PA) NO. 5 TAHUN 1960

1.      Pengertian dan Sifat Hak Milik

Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20). Dalam hal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hukum yang "terkuat dan terpenuh" yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat" sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu.
Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum-adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata "terkuat dan terpenuh" itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna-usha, hak guna-bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan, bahwa diantara hak- hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang "ter" (artinya : paling)-kuat dan terpenuh.

2.      Pemegang Hak Milik

Sesuai dengan azas kebangsaan tersebut dalam pasal 1, maka menurut pasal 9 dan pasal 21 (ayat 1) hanya warganegara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2). Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (hak guna-usaha, hak gunabangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41). Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).
Dalam pasal 21 ayat 3 mengatakan:Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
Dalam ayat 3 ini disebut 2 cara memperoleh hak milik karena lain-lain cara dilarang oleh pasal 26 ayat 2. Adapun cara- cara yang diserbut dalam ayat ini adalah cara-cara memperoleh hak tanpa melakukan suatu tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak itu.
Pasal 21 ayat 4 mengatakan:Selama seseorang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.
Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan.

3.      Terjadinya Hak Milik

Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 22 ayat 1).  Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik menurut hukum adat ialah pembukaan tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara. Selain itu menurut pasal 22 ayat 2 hak milik juga dapat terjadi karena:
a.    penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
b.   ketentuan Undang-undang.

4.      Pendaftaran Hak Milik

Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19 yaitu sebagai berikut:

1)      Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2)      Pendaftaran tersebut meliputi:
a.       pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b.      pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; 
c.       pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

3)   Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4)   Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran tanah, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

5.      Hapusnya Hak Milik

Hak milik hapus bila:
1.      tanahnya jatuh kepada negara,
a.    karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
b.    karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
c.    karena diterlantarkan;
d.   karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2)

2.      tanahnya musnah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”