“Mengikuti” Jejak Koruptor" (“Kekuasaan cendrung korup dan kekuasaan mutlak melakukan korupsi yang juga mutlak” (Lord Acton))
MELACAK “jejak
kaki” koruptor di negri ini amatlah tidak mudah. Pasalnya selain membutuhkan
fakta dan data, tentu pengetahuan kita harus mempuni melebihi pengetahuan para
koruptor itu sendiri. Dengan begitu, kita bisa membedakan mana “jejak asli”
atau “jejak palsu” yang dibuat si koruptor untuk mengelabui para pembasmi
korupsi. Pengertian korupsi mungkin hanya istilahnya saja yang membedakan, pada
hakikatnya sama saja dari generasi ke generasi. Suatu kali penulis pernah
menanyakan definisi korupsi pada pemilik warteg (warung tegal) dekat rumah, dia
menjawab “korupsi itu perampokan uang rakyat untuk kepentingan pribadi” meskipun
dalam peraktiknya banyak orang yang mencoba mengaburkan makna korupsi dengan
cara; kolusi, nefotisme, gratifikasi, dan lain-lain. Paling tidak, seperti
tadilah definfisi singkat dari term
“korupsi”
Kata korupsi
sepertinya telah mengikuti perjalanan bangsa ini. Jika kita mau melihat sejenak
ke masa lalu, penulis teringat dengan tulisan Dukut Imam Widodo. Dia menulis
bertajuk “Soerabaia Tempo Doeloe” dalam tulisannya Dukut menuliskan
pengalaman Nicolas Engelhard (Gubernur Pantai Timur Jawa) pada 15 April 1805.
Engelhard mengungkapkan, bahwa dirinya menjadi kaya raya karena sogokan
orang-orang pribumi yang menginginkan jabatan. Lantas apa yang membedakan
korupsi zaman VOC, zaman pergerakan, zaman kemerdekaan, zaman Orde Lama (Orla),
zaman Orde Baru (Orba), dan zaman Orde Reformasi?
Salah satu koran
harian nasioanal, dalam tajuk rencananya berjudul “pentjolengan ekonomi”
(14/09/1965). Menggambarkan bahwa koruptor adalah pencoleng ekonomi bangsa.
Tajuk tersebut sebenarnya mengomentari betapa berlepotannya Orla dengan
korupsi. Ada berita mengenai manipulasi benang tenun, manipulasi minyak dan
pupuk, serta persidangan salah satu direktur pabrik gula lantaran menerima
suap. Mestinya saat kita melacak jejak korupsi tahun 1965, sudah harus bisa berefleksi
apakah bangsa ini bisa belajar dari kasus korupsi ke korupsi yang lainnya?
Rasanya, tak ada bedanya dengan suap di Orla dengan suap proyek hambalang di
Orde Reformasi.
Orla usai sudah,
kemudian diganti Orba dengan semangat koreksi total atas kesalahan Orla.
Nyatanya, Presiden Soeharto yang berkuasa hampir 32 tahun pada akhirnya tumbang
lantaran kasus korupsi. Pada era Reformasi (1998-2013) justru kasus korupsi
yang diberitakan sangatlah banyak. Hingga Oktober 2013, berdasarkan data Pusat
Informasi (PI) salah satu koran nasional rata-rata diproduksi 3.223 berita tentang
korupsi. Dengan begitu, setiap bulan terdapat 267 berita mengenai korupsi,
paling tidak setiap hari ditemukan 8,9 diksi mengenai koruspi! Pada saat Orab
produksi diksi korupsi memang lebih rendah ketimbang era Reformasi, sudah bisa
dipastikan salah satu penyebabnya, keterbukaan politik dan kebebasan pers
menjadi penentu. Hingga kasus-kasuk korupsi tidak mencuat ke permukaan saat era
Orba, karena pemberendelan media masa.
Pada 1999, saat
hajatan demokrasi di gelar pertama kalia paca-Orde Baru, isu korupsi juga
mencapai angka 2.631 berita korupsi. Pola yang sama pun terjadi lagi pada 2004,
saat pemilu dilangsungkan berita korupsi kembali mencapai 3.223 berita.
Sedangkan pemilu 2009 berita korupsi mencapai 3.176. korupsi selain merugikan negara, juga selalu
menjadi isu yang seksi saat menjalang sirkulasi kekuasaan. Bahkan wakil ketua
KPK Bambang Widjojanto mengungkapkan, “pemilu 2014 tidak lagi menjadi pesta
demokrasi melainkan ajang perampokan besar-besaran kekayaan negara dan uang
rakyat.”
Rujukan Bacaan
Edward W. Said, Kebudayan Dan
Kekuasaan, Mizan, 1995
M. Amien Rais, Agenda Mendesak
Bangsa: Selamatkan Indonesia!, PPSK Press, 2008.
Maryaeni, Metode Penelitian
kebudayaan, Bumi Aksara, 2005
Kompas, 25 Oktober 2013.
Zainuddin
Maliki, Politikus Busuk: Fenomena Insensibilitas Moral Elite Politik,
Galang Press, 2004
Komentar
Posting Komentar