“Dakwah Di Balik Kekuasaan”
Penulis : Yadi Jayadi

(Penulis:
Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukuk (UIN SGD BDG), Sekretaris Umum HIMAT
Cabang Bandung, Pimpinan Lembaga Pers Mahasiswa LENSA HIMAT, Pembina IKRAMA Al
Muhajirin – Bandung. Pendidik DTA Mitra Muhajirin – Bandung)
Dakwah sejatinya
menjadi jalan penyampaian kebenran dan kebaikan. Karenannya bisa dilakukan oleh
siapa saja, kapan saja, dan melalui media apa saja. Namun faktanya dakwah
mengalami dinamika, bukan hanya faktor dai dan materi, tetapi juga harus
berhadapan dengan sistem yang berlangsung ditengah masyarakat. Dakwah suatu
ketika bisa menjadi sumbu peletup gerakan sosial, tapi pada waktu yang lain ia
bisa menjadi magnet penenang massa. Dakwah bisa menjadi katup stabilitas
sosial, tapi bisa juga menjadikan bagian penting dari proses transformasi
soaial. Semua ini bergantung pada sistem soaial yang melingkupinya.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, dakwah mengalami dinamika yang
beragam, baik dalam hal metode, materi, maupun media yang digunakan. Dari
dakwah yang bersifat ideologis secara materi (isi), sampai dakwah yang
cenderung mengarah paga pragmatis. Dari yang bersifat yang mendorong secara
metode, sampai yang bersifat dialog. Dari yang hanya menggunakan mimbar, hingga
melalui media elektronik sebagai media.
Pada masa Orde lama, sering kecenderungan menguatnya sekat-sekat
ideologi dikalangan masyarakat, dakwah juga diwarnai oleh corak ideologi.
Seiring perubahan arah politik yang dibangun oleh Orde Baru, dakwah juga
mengalami polarisasi. Atas nama stabilitas untuk mengejar pertumbuhan ekonomi,
seluruh elemen masyarakat dimobilisasi untuk meyesuaikan ideologi Orde Baru
tersebut. Dakwah tak boleh bersentuhan dengan politik ideologis karena dianggap
karena dapat mengganggu stabilitas. Secara tidak langsung pemerintah mengakui bahwa
dakwah merupakan media startegis untuk menetukan dinamika kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru mengarahkan dakwah untuk mendukung
kesuksesan program pemerintah. Dakwah tetap dibiarkan berjalan dengan catatan
berpijak pada keinginan (Program-program) pemerintah. Ada tiga “Politik
Dakwah” yang diterapkan oleh pemerintah a. Kelompok yang menerima
dan terlibat secara intens dalam dakwah secara struktural sesuai garis
kebijakan pemerintah,. b. Kelompok yang menerima kebijakan pemerintah
sebagai bagian (keniscayaan) dari upaya pembangunan nasioanal tapi tidak
terlibat secara struktural,. Dan c.
Kelompok yang mengabil jalan bersebrangan dengan pemerintah dan
Menjadikan dakwah sebagai media kritik terhadap pemerintah. Masing-masing
kelompok hadir dalam masyarakat dengan tingkat kualitas dan kuantitasnya yang
berbeda-beda.
Kini di era reformasi, jalan dakwah semakin terbuka luas, termasuk
melalui kekuasaan atau birokrasi yang tak lagi otoriter dan sentralistik.
Meskipun dibeberapa daerah di mana posisi umat islam menjadi minoritas,
hambatan itu masih saja tetap ada tidak lagi menjadi kekutan yang dicurigai,
diawasi, atau bahkan disingkirkan, justru sebaliknya, umat islam memiliki
kesmpatan yang sangat luas untuk mewarnai kekuasaan dengan nilai-nilai agung
keislamannya.
Tantangannya dewasa ini justru terletak pada konsistensi
(keistiqamahan) untuk terus menyuarakan kebenaran niali-nilai Keislaman dan
Kearifan Lokal ditengah godaan politik kekuasaan dan popularitas yang semakin
pragmatis bahkan cenderung hedonis. Jangan sampai peluang besar ini menjadi
ajang baru bagi para (oknum) untuk sekedar terjebak mencari popularitas,
mengabaikan kapasitas, isi, dan integritas seabagai penyampai kebenaran, yang pada
akhirnya justru akan menodai kemuliaan dirinya, Agama, dan Kearifan lokal dan
mengubur cita-cita yang luhur dan misi agung dakwah.
Dihrapkan di era kebebasan dan keterbukaan politik inilah dakwah
sejatinya menjadi mercusuar agar mampu menjadi penerang dan petunjuk jalan
kebenran. Dakwah jangan terus terjebak hanya sekedar tampilan aksesoris,
sekedar penghibur dan ajang lawak, dan pada akhirnya dakwah akan kehilangan
substansi dan proses pencerahan. Sungguh amat disayangkan bila era kebebasan
ini tidak dimanfaatkan untuk berdakwah dengan cara – cara yang lebih
sistematis. Institusi dakwah seharusnya mengambil peranan paling depan. Buka
terus membiarkan (oknum-oknum) perorangan mencari panggungnya sendiri.
Refrensi/Buku Dakwah
DiBalik Kekuasaan/ Mayjen TNI (Purn) Drs. H.Kurdi Mustofa, MM
Bandung 26 September 2016
Penulis
Komentar
Posting Komentar