HUKUM PERDATA PERKAWINAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Didalam era ini banyak manusia yang ingin menikah dan banyak pula yang cerai semau mereka sendiri tanpa memandang akibat positif dan negative dari perkawinan itu sendiri. Sehingga para orang tua maupun sanak saudara banyak yang berhati-hati terhadap tingkah laku anak mereka terutama dalam hal perkawinan.
Maka dari itu terkadang mereka yang melihat anak mereka ingin menikah mereka masih menangguhkan keinginan mereka. Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu “hubungan”, baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, sehingga seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Sebagai contoh sebagai akibat terjadinya hubungan pinjam meminjam saja seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Atau contoh lain dalam hal terjadinya putusnya perkawinan seringkali menimbulkan permasalahan hukum.
Dan pada makalah ini akan kami bahas terkait tentang pencegahan, pembatalan perkawinan dan harta benda dalam perkawinan.

B.     Rumusan Masalah
1.    Pencegahan Perkawinan
2.    Pembatalan Perkawinan
3.    Hak dan kewajiban suami isteri
4.    Harta benda dalam perkawinan
5.    Pencegahan Perkawinan





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pencegahan Perkawinan
        Pencegahan perkawinan adalah usaha untuk membatalkan perkawinan sebelum perkawinan itu berlangsung. Pencegahan perkawinan itu dapat dilakukan apabila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan pernikahan berdasarkan hukum islam yang termuat dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan.
1.    Syarat
a)      Apabila calon suami atau isteri tidak memenuhi syarat-syarat hukum Islam dan perundang-undangan.
b)      Apabila calon mempelai tidak sekufu karena perbedaan agama
2.    Pihak yang dapat melakukan pencegahan
a)      Keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah;
b)      Saudara;
c)      Wali nikah;
d)     Wali pengampu.
e)      Suami atau isteri (lain) yang masih terikat perkawinan dengan calon suami atau isteri tersebut.
f)       Pejabat pengawas perkawinan.
3.    Prosedur pencegahan.
a)      Pemberitahuan kepada PPN setempat;
b)      Mengajukan permohonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat;
c)      PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai.
1)      Penolakan Perkawinan
a)      Penolakan dilakukan oleh PPN, apabila PPN berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut terdapat larangan menurut UUP;
b)      Acara :
·      Atas permintaan calon mempelai, PPN mengeluarkan surat keterangan tertulis tentang penolakan tersebut disertai dengan alasannya;
·      Calon mempelai tersebut berhak mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama (wilayah PPN tersebut) dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut untuk memberikan;
·      Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan berupa : menguatkan penolakan tersebut atau memerintahkan perkawinan tersebut dilangsungkan.
Syarat-syarat perkawinan yang dapat dijadikan alas an untuk adanya pencegahan perkawinan disebutkan dalam Pasal 20 UU Perkawinan No. I Tahun 1974, yaitu:
  1. Pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1) yaitu mengenai batasan umur untuk dapat melangsungkan perkawinan. Apabila calon mempelai tidak (belum) memenuhi umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut, maka perkawinan itu dapat dicegah untuk dilaksanakan. Jadi perkawinan ditangguhkan pelaksanaannya sampai umur calon mempelai memenuhi umur yang ditetapkan undang-undang.
  2. Melanggar pasal 8, yaitu mengenai larangan perkawinan. Misalnya saja antara kedua calon mempelai tersebut satu sama lain mempunyai hubungan darah dalam satu garis keturunan baik ke bawah, ke samping, ke atas berhubungan darah semenda, satu susuan ataupun oleh agama yang dianutnya dilarang untuk melangsungkan perkawinan.
Dalam hal ini perkawinan dapat ditangguhkan pelaksanaannya bahkan dapat dicegahkan pelaksanaannya untuk selama-lamanya misalnya perkawinan yang akan dilakukan oleh kakak-adik, bapak dengan anak kandung dan lain-lain.
  1. Pelanggaran terhadap pasal 9 yaitu mengenai seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali apabila memenuhi pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 tentang syarat-syarat untuk seorang suami yang diperbolehkan berpoligami.
  2. Pelanggaran terhadap pasal 10 yaitu larangan bagi suami atau istri yang telah kawin cerai dua kali tidak boleh melangsungkan perkawinan untuk ketiga kalinya sepanjang menurut agamanya (hokum) mengatur lain.
  3. Pelanggaran terhadap pasal 12 yaitu melanggar syarat formal untuk melaksanakan perkawinan yaitu tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan yaitu dimulai dengan pemberitahuan, penelitian dan pengumuman (lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).


B.     Pembatalan Perkawinan
Ketentuan Pasal 22 UUP menyatakan bahwa: Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam Penjelasan Pasal 22 disebutkan bahwa pengertian dapat pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dengan demikian, jenis perkawinan di atas dapat bermakna batal demi hukum dan bisa dibatalkan.
Syarat-syarat yang tidak dipenuhi dimuat dalam Pasal 26 ayat (1) yaitu:
  1. Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang.
  2. Dilakukan oleh wali nikah yang tidak sah.
  3. Tidak dihadiri oleh dua orang saksi.
Ketentuan Pasal 26 ayat (1) tersebut di atas dapat digugurkan pembatalannya apabila suami/istri yang mengajukan pembatalan tersebut sudah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang cacat hokum tersebut supaya perkawinan itu dapat diperbaharui menjadi sah.
Berdasarkan Pasl 23, pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh:
  1. Para keluarga dalam garis keturunan harus ke atas dari suami/istri.
  2. Suami atau istri.
  3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
  4. Pejabat berdasarkan Pasal 16 ayat (2)
  5. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hokum secara langsung terhadap perkawinan tersebut asal perkawinan itu telah putus.
Seorang suami/istri dapat juga mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila:
  1. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hokum.
  2. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri
Pembatalan suatu perkawinan dimulai setelah adanya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pembatalan perkawinan terjadi setelah perkawinan dilangsungkan sedang akibat hokum dari adanya pembatalan perkawinan adalah:
  1. Perkawinan itu dapat dibatalkan
  2. Perkawinan dapat batal demi hokum artinya sejak semula dianggap tidak ada perkawinan, misalnya suatu perkawinan yang dilangsungkan di mana antara suami istri itu mempunyai hubungan darah menurut garis keturunan ke atas atau ke bawah ataupun satu susuan.
Akibat hokum pembatalan perkawinan terhadap anak, suami atau istri dan pihak ketiga berlaku surut:
  1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tetap merupakan anak yang sah.
  2. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
  3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam point 1 +2 sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembtalan mempunyai kekuatan hokum tetap.

Lebih lanjut menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun 1975 ditentukan bahwa Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undanagan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan.
1.    Perkawinan dapat dibatalkan (Pasal 71 - 76 KHI), apabila:
a)    Suami melakukan poligami tanpa ijin dari Pengadilan Agama;
b)   Perempuan yang dinikahi ternyata masih menjadi istri pria lain yang mafqud;
c)    Perempuan yang dinikahi ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain;
d)   Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan;
e)    Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f)    Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
2.      Perkawinan batal (Pasal 70) apabila:
a)    Seorang suami melakukan poligami padahal dia sudah mempunyai 4 orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isteri tersebut sedang dalam iddah talak raj’i;
b)   Menikahi kembali bekas isteri yang telah di li’an;
c)    Menikahi bekas isterinya yang telah ditalak tiga kali;
d)   Perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan susuan;
e)    Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istrinya.
3.      Pembatalan perkawinan karena adanya ancaman, pempuan atau salah sangka. Suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila:
a)    Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
b)   Pada waktu dilangsungkan perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isterinya;
c)    Bila ancaman telah terhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya, dan dalam waktu 6 bulan setelah itu tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya, maka haknya menjadi gugur.
4.      Pihak yang dapat mengajukan pembatalan:
a)    Pihak keluarga suami atau isteri dalam garis lurus ke atas dan ke bawah;
b)   Suami atau isteri;
c)    Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan;
d)   Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacad pada rukun dan syarat perkawinan menurut hukum.
5.      Acara pembatalan perkawinan
Permohonan pembatalan diajukan ke Pengadilan Agama dimana suami atau isteri bertempat tinggal atau di tempat perkawinan dilangsungkan.
6.      Akibat hukum
a)    Pembatalan perkawinan berarti adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan adalah tidak sah. Akibat hukum dari pembatalan tersebut adalah bahwa perkawinan tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan para pihak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan kerabat dan bekas suami maupun isteri;
b)   Batalnya perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum telap, tetapi berlaku surut sejak saat berlangsungnya perkawinan;
c)    Keputusan pembatalan tidak berlaku surut terhadap :
·      Perkawinan yang batal karena suami atau isteri murtad;
·      Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
·      Pihak ketiga yang mempunyai hak dan beritikad baik.;
·      Batalnya perkawinan tidak memutus hubungan hukum anak dengan orang tua.
d)   Perbedaan dengan perceraian dalam hal akibat hukum :
1)   Keduanya menjadi penyebab putusnya perkawinan, tetapi dalam perceraian bekas suami atau isteri tetap memiliki hubungan hukum dengan mertuanya dan seterusnya dalam garis lurus ke atas, karena hubungan hukum antara mertua dengan menantu bersifat selamanya;
2)   Terhadap harta bersama diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk bermusyawarah mengenai pembagiannya karena dalam praktik tidak pernah diajukan ke persidangan dan di dalam perundang-undangan hal tersebut tidak diatur.
Mukti Arto, S.H mengemukakan bahwa, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila terdapat sebab-sebab sebagai berikut :
1.      Seorang suami melakukan poligami tanpa ijinPengadilan Agama;
  1. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud;
  2. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah suami lain;
  3. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
  4. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
  5. Perkawinan dilaksanakan dengan paksaan;
  6. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
  7. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri;
  8. Apabila ancaman telah berbunyi, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah ia masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan pembatalan, maka haknya gugur.
Apabila kita melihat peraturan yang mengatur tentang harta perkawinan, kita dapat mengkaji dari beberapa pasal dalam Undang-undang Perkawinan no 1 tahun 1974.

C.     Harta Benda dalam Perkawinan
Menurut pasal 35 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), harta benda dalam perkawinan terbagi dalam tiga bentuk yakni harta bersama, harta bawaan dan harta perolehan.
Pasal 35
1.      Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;
2.      Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
1)        Harta Bersama (pasal 36 ayat (1) UUP No 1/1974).
Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh sesudah suami-istri berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri, sehingga baik suami maupun istri punya hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak.
Bila terjadi perceraian, maka menurut pasal 37 UUP, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan ‘hukumnya’ masing-masing adalah hukum yang berlaku sebelumnya bagi suami istri, yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain (KUH Perdata misalnya).
Ketentuan semacam ini kemungkinan akan mengaburkan arti penguasaan harta bersama yang diperoleh suami-istri selama dalam perkawinan. Karena ada kecenderungan pembagiannya tidak sama, dikarenakan dominasi dan stereotipe bahwa suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari istri. Yang berarti akan mengecilkan hak istri atas harta bersama. Untuk menghindari hal tersebut, beberapa pasangan suami istri memilih melakukan pemisahan harta dalam perkawinan (lihat poin 2 tentang Pemisahan Kekayaan).
2)      Harta Bawaan (pasal 36 ayat ( 2) UUP)
Yaitu harta benda yang telah dimiliki masing-masing suami-istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari warisan, hibah, atau usaha mereka sendiri-sendiri. Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Artinya, seorang istri atau suami berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya masing-masing. Tetapi bila suami istri menentukan lain yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan misalnya, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian pula bila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.  
3)      Harta Perolehan
Yaitu harta masing-masing suami-istri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan. Harta ini diperoleh bukan dari usaha mereka baik seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan masing-masing. Pada dasarnya penguasaan harta perolehan ini sama seperti harta bawaan, yakni suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta perolehannya masing-masing dan jika ada kesepakatan lain yang dibuat dalam perjanjian perkawinan maka penguasaan harta perolehan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian. Demikian juga jika terjadi perceraian.
Pemisahan Kekayaan (pasal 29 (1) UUP)
Untuk melindungi istri terhadap kekuasaan suami yang sangat luas atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si istri, dapat dilakukan Pemisahan Kekayaan yang dituangkan dalam Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan ini dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat secara tertulis oleh kedua calon pengantin atas persetujuan bersama.
Kompilasi Hukum Islampun sangat memungkinkan untuk dilakukan pemisahan kekayaan dalam Perjanjian Perkawinan (Lihat pasal 45 Kompilasi Hukum Islam).

D. Hak Dan Kewajiban Suami Isteri
Hak dan Kewajiaban Suami dan Istri menurut KUP Perdata:
103.suami dan istri, mereka harus setia-mensetiai, tolong menolong, dan bantu-membantu.
104.Suami dan istri, dengan mengikat diri dalam suatu perkawinan, dan hanya karena itu pun, terikatlah mereka dalam suatu perjanjian bertimbal-balik, akan memelihara dan mendidik sekalian anak mereka.
105.Setiap suami adalah kepala dan persataun suami-istri
Sebagain kepala berwajiblah ia, dengan tak mengurangi beberapa pengacualian teratur dibawah ini, akan memberi bantuan kepada istrinya, atau menghadap untuknya di muka Hakim.
Setiap suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya, kecuali kiranya tentang hal ini telah diperrjanjikan sebaliknya.
Ia harus mengurus harta kekayaan itu laksana seorang bapak rumah yang baik, dn karenanya pun bertanggung jawab atas segala kealpaan dalam pengurusan itu.
Ia tak diperbolehkan memindahtangankan atau membebani harta kekayaan  tak bergerak milik istrinya, tanpa persetujuan si istri.
106.Setiap istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya.
Ia berwajib tinggal bersama dengan si suami dalam rumah satu rumah dan berwajib pula mengikutinya, barang dimanapun si suami memandang berrguna, memusatkan tempat kediamannya.
107.Setiap suami berwajib menerima diri istrinya dalam rumah yuang ia diami.
Berwajiblah pula ia, melindunginya dan memberi padanya segala apa yang perlu dan berpatutan dengan kedudukan dan kemampuannya.
108.Seorang istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia mengibahkan barang sesuatu atau memindahtangakan, atau memperolehnya, baik dengan Cuma-Cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta, atau dengan izin tertulis dari suaminya.
Seorang istri, biar ia telah dikuassakan oleh suaminya, untuk membuat sesuatu akta, atau untuk mengangkat sesuatu perrjanjian sekalipun, namun tidaklah ia karena ia berhak, menerima sesutu pembayaran atau memberi perlunasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya.
109.Terhadap segala perbuatan atau perjanjian yang dilakukan atau diangkat setiap istri guna keperrluan segala sesuatu berkenaan dengan perbelanjaan ruamh tangga yang biasa dan sehari-hari, seperti pun terhadap segala perjanjian kerja yang diangkatnya sebagai pihak majikan dan untuk keperluan rumah tangga pula, terhadap kesemuanya itu undang-undang menganggap, bahwa sudahlah si istri memperoleh izin yang dimaksudkan di atas dari suaminya.
110.Seorang istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisah dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata pencaharian atas usaha sendairi sekalipun, namun tak bolehlah ia menghadap di muka Hakim tanpa bantuan suaminya.
111.Bantuan si suami kepada istrinya taklah perrlu:
1e. apabila si istri dituntut di muka Hakim karena sesuatu perkerjaan pidana;
2e. dalam sesuatu tuntutan akan perceraian perkawinan, akan pemisahan meja dan ranjang atau akan pemisahan harta kekayaan.
112. Jika si suami menolak memberi kuasa kepada istrinya, untuk membuat suatu akta, atau menolak menghadap di muka Hakim, maka bolehlah si istri meminta kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal bersama, supaya dikuasakan untuk itu.
113.Seorang istri yang mana dengan izin yang tegas, atau izin secara diam-diam dari suaminya, atas usaha sendiri melakukan sesuatu mata pencaharian, boleh mengikat dirinya, dalam segala perjanjian berkenaan dengan usaha itu, tanpa bantuan si suami.
Jika istri itu kawin dengan suaminya dengan persatuan harta kekayaan, maka si suami pun terikatlah karena perjanjian-perjanjian.
Apabila si suami menarik kembali izinnya, maka ia harus terang-terangan meengumumkan penarikan kembali itu.
114.Jika si suami, disebabkan keadaan tak hadir, atau karena alasan-alasan lain terhalang memberi bantuan kepada istrinya, atau terhalang mengyasakannya, atau jika ia mempunyai kepentingan yanh bertentangan, maka Pengadilan Negeri tempat tinggal suami istri boleh mengizinkan kepada istri itu, untuk menghadap di muka Hakim, mengangkat perjanjian-perjanjian, menyelenggarakanpengurusan membuat segala akta lainnya.
115.Suatu pemberian kuasa umum, pun jika ini dicantumkan dalam kawin, tak akan berlaku lebih daripada suatu pengusaan untuk menyelenggrakan pengurusan atas harta kekayaan si sitri sendiri.
116.Kebatalan suatu perbuatan disebabkan ketiadaan kuasa, hanya dapat dituntut oleh si istri, si suami atau para ahli waris mereka.
117.Apabila seorang istri, setelah perkawinannya dibubarkan, telah melaksanakan seluruhnya, atau untuk sebagian, akan suatu perjanjian, atau perbuatan yang telah ia angkat atau ia lakukan tanpa penguasaan yang diharuskan, maka ia tak lagi berhak menuntut pembatalan perjanjian atau perbuatan itu.
118.Setiap istri berhak membuat surat wasiat tanpa izin suaminya.













Macam-macam Kewajiban Suami Istri
1.    Kewajiban Suami Istri
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami isteri dijelaskan secara rinci sebagai berikut :

Pasal 77
1.    Suami isteri  memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
2.    Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
3.    Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agaamanya.
4.    Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.
5.    Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 78
1.    Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2.    Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami isteri bersama.

2.    Kewajiban Suami terhadap Istri
Dalam kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami terhadap isteri dijelaskan secara rinci sebagai berikut :

Pasal 80
1.    Suaminya adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan  tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
2.    Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3.    Suami wajib member pendidikan agama kepada isterinya dan member kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama dan bangsa.
4.    Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung :
a.    Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b.    Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c.    Biaya pendidikan bagi anak.
5.    Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dan isterinya.
6.    Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7.    Kewajiban suami sebagaimana di maksud ayat (2) gugur apabila isteri nusyud.

Pasal 81
Tentang Tempat Kediaman
1.      Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya, atau bekas isteri yang masih dalam ‘iddah.
2.      Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untukisteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam ‘iddah talak atau iddah wafat.
3.      Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai penyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4.      Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Pasal 82

Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih dari Seorang
1.      Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
2.      Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.

3.    Kewajiban Istri Terhadap Suami
Diantara beberapa kewajiban isteri terhadap suami adalah sebagai berikut :
a.    Taat dan patuh kepada suami.
b.    Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman.
c.    Mengatur rumah dengan baik.
d.    Menghormati keluarga suami.
e.    Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami.
f.     Tidak mempersuli suami, dan selalu mendorong suami untuk maju.
g.    Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan suami.
h.    Selalu berhemat dan suka menabung.
i.      Selalu berhias, bersolek untuk atau di hadapan suami.
j.      Jangan selalu cemburu buta.
       
Dalam kompilasi hukum islam, kewajiban isteri terhadap suami dijelaskan sebagai berikut:

Pasal 83
Kewajiban Isteri
1.    Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam.
2.    Isrti menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

Pasal 84
1.    Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban, sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1), kecuali dengan alas an yang sah.
2.    Selama isteri dalm nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3.    Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz.
Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus di dasarkan atas bukti yang sah.



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pencegahan Perkawinan.
Untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan perundang-undangan
2.      Pembatalan Perkawinan.
Ketentuan Pasal 22 UUP menyatakan bahwa: Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam Penjelasan Pasal 22 disebutkan bahwa pengertian dapat pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dengan demikian, jenis perkawinan di atas dapat bermakna batal demi hukum dan bisa dibatalkan.
3. harta denda dalam perkawinan,
Menurut pasal 35 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), harta benda dalam perkawinan terbagi dalam tiga bentuk yakni harta bersama, harta bawaan dan harta perolehan.
4. hak dan kewajibn suami istri
1. Suami isteri  memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
2. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
3.    Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agaamanya.
4.    Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.
5.    Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

DAFTAR PUSTAKA

Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap, H.A. Abdurrahman Ahmad.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”