“Duta Islam Yang Pertama” (Remaja Quraisy Terkemuka)
Oleh
: Yadi Jayadi

(Penulis:
Mahasiswa Universitas Islam Negeri, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Jurusan
Perbandingan Madzhab dan Hukum)
z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ×A%y`Í (#qè%y|¹ $tB (#rßyg»tã ©!$# Ïmøn=tã ( Nßg÷YÏJsù `¨B 4Ó|Ós% ¼çmt6øtwU Nåk÷]ÏBur `¨B ãÏàtF^t ( $tBur (#qä9£t/ WxÏö7s? ÇËÌÈ
“Di antara orang-orang mukmin itu ada
orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di
antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-
nunggu:(1) dan mereka tidak merobah (janjinya),” (Al Ahzab 33:23) (1) Maksudnya menunggu apa yang telah Allah
janjikan kepadanya.[1]
Salam Atas-Mu Wahai Mush’ab
Salam Atas-Mu Sekalian, Wahai Para Syuhada
Mush’ab bin Umair
Al-Abdary bin Hasyim bin Dar bin Qushay bin Kilab bin al-Abdari al-Qurasyi. salah
seorang diantara para sahabat Nabi. Alangkah baiknya jika kita memulai kisah
dengan pribadinya. Seorang remaja Quraisy terkemuka, seorang yang paling
tampan, penuh dengan jiwa dan semangat muda.
Ia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang bahagia. Para riwayat
dan muarrikh melukiskan semangat muda-nya dengan sanjungan : “Seorang Warga
Kota Mekkah Yang Mempunyai Nama Paling Harum”. Mungkin tak seorang pun di
antara anak-anak muda Mekkah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tua-nya
demikian rupa sebagai yang di alami Mush’ab bin Umair. [2]
Anak muda yang berkecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjdi buah bibir
gadis-gadis Mekkah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan, akan
meningkat sedemkian rupa hingga menjadi buah cerita tentang keimanan, menjadi
tamsil dalam semanagt kepahlawanan dan ia salah satu di antara pribadi-pribadi
Muslimin yang ditempa oleh islam dan dididik oleh Muhammad s.a.w.
Mush’ab dilahirkan
di masa jahiliyah empat belas tahun (atau lebih sedikit) setelah kelahiran Nabi
Muhammad s.a.w. pada tahun 571 M sedangkan Mush’ab pada tahun 585 M.[3]
Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan bagi kita semua, suatu hari Mush’ab
mendengar berita yang telah tersebar luas dikalangan warga Mekkah mengenai
Muhammad al-Amin. Muhammad s.a.w. yang mengatakan bahwa dirinya telah diutus
Allah s.w.t. sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai Rasul (Da’i)
mengajak umatnya beribadat kepada Allah Yang Maha Esa.
Sementara
perhatian warga Mekkah terpusat pada berita itu, dan tiada yang menjadi buah
pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah s.a.w. bersama pengikutnya yang
biasa mengadakan pertemuan disuatu tempat yang terhindar dari gangguan dan
ancaman grombolan Quraisy yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam,
serta Agama yang dibawanya, maka anak muda yang anja ini (Mush’ab) paling
banyak mendengar berita itu, mseki usaianya masih belia, tetapi ia menjadi
bunga majlis ditempat-tempat pertemuan yang selalu diharapkan kehadirannya oleh
para anggota dan teman-temannya. Ketampanan dan kecerdasan merupakan
keistimewaan Ibnu Umair, menjadi daya pemikat dan pembuka jalan pemecah
masalah.
Keraguan tiada
berjalan lama, hanya sebentar ia menunggu, maka suatu senja didorong oleh
kerinduannya pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Ditempat itu
Rasulullah s.a.w. sering berkumpul dengan para sahabatnya, tempat mengajarnya
ayat-ayat Al Quran dan membawa mereka beribadat kepada Allah s.w.t. Yang Maha
Akbar.
Ketika Mush’ab yang pertama kalinya duduk, ayat-ayat al-Qur’an
mulai mengalir dari kalbu Rasulullah s.a.w. bergema melalui kedua bibirnya dan
sampai ketelinga, meresap dihati para pendengar. Disenja itu Mush’ab pun
terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah s.a.w. yang tepat menemui sasaran pada
kalbunya. Hampir saja anak muda
itu (Mush’ab bin Umair) terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru, dan
serasa terbang ia karena gembira. Tetapi Rasulullah s.a.w. mengulurkan
tangannya yang penuh keberkah dan kasih sayang, lalu Rasulullah s.a.w. menelus
dada pemuda yang sedang panas bergejolak, hingga tiba-tiba menjadi sebuah lubuk
hati yang tenang damai, tak obah bagai lautan yang teduh dan dalam. Pemuda yang
telah Islam, KeImanan yang nampak telah memiliki ilmu serta hikmah yang begitu
luas belipat ganda dari ukuran usianya yang memiliki kepekatan hati yang mampu
merubah jalan sejarah.
Khunas binti Malik yakni
ibunda Mush’ab, seorang yang berkepribadian kuat dan pendiriannya tak dapat
ditawar atau diganggu gugat. Ia wanita yang disegani bahkan ditakuti.
Ketia anaknya (Mush’ab) memeluk agama Islam, tidak ada satu
kekuatan pun yang ditakutinya dan kekhawatirannya selain ibunya sendiri, bahkan
walau seluruh penduduk Mekkah beserta berhala-berhal para pembesar dan padang
pasirnya berubah rupa menjadi rupa menjadi suatu kekuatan yang menakutkan yang
hendak menyerang dan menghancurkannya, tentulah Mush’ab akan menganggapnya
enteng. Tapi tantangan datang dari ibunya bagi Mush’ab tidak dapat dianggap
kecil, ia pun segera berpikir keras dan mengambil keputusan untuk
menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang dikehendaki Allah
s.w.t. Demikianlah ia senantiasa bolak-balik ke rumah Arqam menghadiri majlis
Rasulullah s.a.w. sedang hatinya merasa bahagia dengan keimanan dan sedia
menembusnya dengan amarah murka ibunya yang belum mengetahui berita
keislamannya.
Tetapi di kota Mekkah tiada rahasia yang dapat tersembunyi, apalagi
dalam suasana seperti itu, mata kaum Quraisy berkeliaran dimana-mana mengikuti setiap langkah menelusuri setiap
jejak.
Pada suatu ketika Usman bin Thalhah melihat Mush’ab memasuki rumah
Arqam secara sembunyi. Kemudian dihari yang lain dilihatnya Mush’ab ibadah
(Sholat) seperti Muhammad s.a.w. secepat kilat ia (Usman bin Thalhah)
mendatangi ibu Mush’ab (Khunas binti Malik) dan melaporkan berita yang dijamin
kebenarannya.
Berdirilah Mush’ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para
pembesar Mekkah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yakin dan pasti
dibacakannya ayat-ayat al-Quran yang disampaikan Rasulullah s.aw. untuk mencuci
hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah, keilmuaan, kejujuran, dan
ketaqwaan.
Ketika sang ibu hendak membungkam mulut putranya dengan tamparan
keras, tiba-tiba tangan yang terlulur bagai anak panah itu surut dan jatuh
terkulai, demi melihat Nur atau Cahaya yang membuat wajah yang
telah berseri cemerlang itu kian berwibawa dan patut diindahkan, menimbulkan
suatu ketenangan yang mendorong dihentikannya tindakan. Karena rasa keibuannya,
ibunda Mush’ab terhindar memukul dan menyakiti putranya, tetapi tidak dapat
menahan diri dari tuntutan bela berhala-berhalanya dengan jalan lain. Dibawalah
putranya itu ke suatu tempat terpencil untuk dikurung dan dipenjarakan sangat
ketat.
Demikian lama Mush’ab tinggal dalam kurungan sampai saat beberapa
orang Muslimin hijrah ke Habsyi. Mendengar berita hijrah ini Mush’ab pun
mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu
pergi ke Habsyi. Ia tnggal disana bersama saudara-saudara muslim kaum
Muhajirin. Suatu saat ia pulang ke Mekkah dan kemudian ia pergi hijrah untuk
yang kedua kalinya bersama para sahabat atas permintaan Rasulullah s.a.w. dan
satu bentuk ketaatan kepadanya.
Baik di Habsyi maupun di Mekkah, ujian yang haeus dilalui Mush’ab
tiap saat dan tempat kian meningkat. Dan ia telah berhasil menempa corak
kehidupannya menurut pola yang figur-nya dicontohkan Muhammad s.a.w. Ia merasa
puas bahwa kehidupannya telah layak untuk dipersembahkan bagi pengorbanan
terhadap Penciptaannya yang Maha Tinggi dan Tuhan yang Maha Akbar.
Pada suatu hari ia tampil dihadapan beberapa orag Muslimin yang
sedang duduk sekeliling Rasulullah s.a.w. Demi memandang Mush’ab , mereka sama
menundukan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah
karena duka. Mereka meilhat Mush’ab mengenakan jubah usang banyak tambalannya,
padahal belum hilang dari diingatan mereka, Mush’ab sebelum masuk islam tak
obahnya bagaikan bunga di taman, berwarna-warni dan harum wewangian. Adapun
Rasulullah, menatap (Mush’ab) dengan pandanga yang penuh arti, disertai cinta
kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirya sersungging senyum mulia,
seraya bersabda :
لقدرايت مصعباهذاومابمكةفتي انعم غندابويه
منه شم ترك ذلك كله حبا لله ورسوله
“Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam
memproleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi
cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya”[4]
Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikannya Mush’ab
kepada agama yang lain, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa
dilimpahkan kepadanya, bahkan ia tak sudi nasinya dimakan orang yang telah
mengingkari berhala dan patut beroleh kutukan daripadanya, walaupun anak
kandungnya sendiri.
Akhirnya Pertemuan
Mush’ab dengan ibunya (Khunas binti Malik), ketia itu hendak mencoba
mengurungnya lagi sewaktu ia pulang dari Habsyi. Ia pun bersumpah dan menatakan
tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilakukan.
Karena sang ibu sudah megetahui kebulatan tekad putranya yang telah mengambil
keputusan (Untuk masuk Islam), tidak ada jalan lain baginya kecuali melepasnya
dengan cucuran air mata, sementara Mush’ab mengucapkan selamat berpisah dalam
keadaan menangis.
Saat perpisahan
itu menggambarkan kepada kita kegigihan luar biasa dalam kekafiran pihak ibu, sebaliknya
kebulatan tekad yang lebih besar dalam mempertahankan keimanan dari pihak anak.
Ketiak sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata : “Pergilah Sesuka
Hatimu! Aku Bukan Ibumu Lagi” maka Mush’ab pun menghampiri ibunya sambil
berkata : “Wahai Ibunda! Telah anakanda sampaikan nasihat kepada bunda, dan
anakanda menaruh belas kasihan kepada bunda, karena itu saksikanlah bahwa tiada
Tuhan Melainkan Allah s.w.t. dan Muhammad s.a.w. adalah hamba dan utusannya.”
Dengan murka dan naik darah ibunda menyahut: “Demi bintang!
Sekali-kali aku takkan masuk agama ke dalam agamamu itu. Otakku bisa jadi
rusak, dan Pikiranku takkan diindahkan orang lain”.
Mush’ab
selanjutnya meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang dialaminya selama itu,
dan memilih hidup miskin dan sengsra. Pemuda ganteng dan gagah itu, kini telah
menjadi seorang melarat dengan pakainnya yang kasar dan usang, sehari makan dan
beberapa hari menderita lapar.
Tetapi jiwanya yang telah dihiasi dengan ‘Aqidah suci cemerlang
berkat sepuhan Nur Ilahi, telah merubah dirinya menjadi seorang manusia lain,
yaitu manusia yang dihormati penuh wibawa dan disegani.
Pengangkatan Mush’ab bin Umair Menjadi Duta di Madinah
Ketika hati dan jiwanya dihiasi keimanan kepada Allah s.w.t. dan
Rasulnya. Usahanya membuahkan hasil Mush’ab di pilih dan ditugskan Rasulullah
s.a.w berangkat ke Madinah untuk menjadi Duta, untuk mengajarkan seluk-beluk
Agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan Bai’at kepada Rasulullah
s.a.w. di bukit Aqabah. Di samping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut
Agama Allah s.w.t. (Islam), serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut Hijratul
Rasul sebagai peristiwa besar.
Sebenarnyaa di kalangan sahabat ketika itu masih bayak yang lebih
tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan
Rasulullah daripada Mush’ab. Tetapi Rasulullah s.a.w. menjatuhkan pilihannya
kepada Mush’ab bin Umair (Sosok yang baik). Dan buka tidak menyadari sepenuhnya
bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting keatas pundak pemuda itu
(Mush’ab bin Umair), dan meyerahkaan tanggung jawab nasib Agama Islam di kota
Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota Hijrah, pusat Da’i dan
Dakwah, tempat berhimpunnya penyebar Agama dan pembela al-Islam.
Mush’ab
dipundaknya memiku amanat itu dengan bekal karuia Allah s.w.t. kepadanya,
berupa fikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran
dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakan dan menawan hati penuduk Madinah
hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.
Sesampiannya di Madinah, didapatinya Kaum Muslimin disana tidak
lebih dari dua belas orang, yakni hanya orang-orang yang telah bai’at di bukit
‘Aqabah. Tetapi tiada sampai beberapa bulan kemudian, meningkatlah orang yang
sama-sama memenuhi panggilan Allah s.w.t dan Rasul-Nya (Masuk Islam).
Pada musim haji berikutnya dari perjanjian ‘Aqabah, Kaum Musliin
Madinah mengirim utusan yang mewakili mereka menemui Nabi. Dan utusan itu
dipimpin oleh guru mereka, oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu
Mush’ab bin Umair.
Dengan tindakanya yang tepat dan bijaksana, Mush’ab bin Umair telah
membuktikan bahwa pilihan Rasulullah s.a.w. atas dirinya itu tepat. Ia memahami
tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah
ditetapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah s.w.t.,
menyampaikan kabar gembira lahirnya suatu Agama yang mengajak manusia mencapai
hidayah Allah s.w.t. membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaknya mengikuti
pola kehidupan Rasulullah s.a.w. yang diimaninya, yang mengemban kewajiban
hanya menyampiakan belaka.
Di Madinah, Mush’ab tinggal sebgai tamu di rumah As’ad bin Zararah.
Dengan didampingi As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan
tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci dari Allah
s.w.t. (Al Quran), menyampaian kalimattullah “Bahwa Allah s.w.t. Tuhan Maha
Esa” secara hati-hati.
Pernah ia mengalami beberapa peristiwa yang menancam keselamatan
diri serta shahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena kecerdasan akal
dan kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada
orang-orang, tiba-tiba disergap Usaid bin Hudlair kepala suku kabilah Abddul
Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. Bukan
main, marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau
dan menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta mengemukakan Tuhan
Yang Maha Esa yang belum pernah mereka kenal dan dengar sebelum itu. Padahal
menurut anggapan Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh lena ditempatnya
masing-masing mudah dihubungi secara
kongkrit. Jika seseorang memerlukan salah satu diantaranya, tentulah ia akan
mengetahui tempatnya dan segera pergi mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan
serta menyampaikan permohonan.
Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran suku Abdul
Asyhal tetapi Tuhannya Muhammad s.a.w.
yang diserukan beribadah kepadanya, oleh utusan yang datang kepada
mereka itu, tiadalah yang mengetahui tempatya dan tak seorang pun yang dapat
melihatnya.
Demi dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api
sedang berkobar kepada orang-orang Islam yang duduk bersama Mush’ab, mereka pun
merasa kecut dan takut. Tetapi “Mush’ab yang Baik” tetap tinggal tenang
denagn air muka yang tidak berubah.
Bagaikan singa hendak menerkam Usaid berdiri di depan Mush’ab dan
As’ad bin Zararah, bentaknya : “Apa maksud kalian datang ke kampung kami
ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Timggalkan Segera tempat ini,
jika tak ingin segera nyawa kalian melayang”.
Mush’ab begitu tenang ketika menatap balik Usaid seperti halnya
samudra yang dalam.., Laksana terang dan damainya cahaya fajar....,
terpancarlah ketulusan hati, sosok “Mush’ab yang baik”dan geraklah
lidahnya mengeluarkan ucpan yang halus, katanya: “Kenapah anda tidak duduk
dan mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya.
Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!.
Sebenarnya Usaid seorang berakal dan berfikir sehat. Dan sekarang
ini dia diajak Mush’ab untuk berbicara dan meminta pertimbangan kepada hati
nuraninya sendiri. Yang dimintanya hanyalah ia bersedia mendengar dan bukan
lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab , dan jika tidak, maka
Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan masyarakat mereka untuk mencari
tempat dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang
lain.
Kemudian Usaid bin Hudlair berujar “Sekarang Saya Insaf” lalu
menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk mendengarkan. Demi Mush’ab membacakan
ayat-ayat al-Quran dan menguraikan dakwah yang dibawa oleh Muhammad bin
Abdullah s.a.w. maka dada Usaid pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun
berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi keindahannya. Dan belum
lagi Mush’ab selesai dari urainnya. Usaid pun berseru kepadanya dan kepada
shahabatnya : “Alangkah Indah dan Benarnya Ucapan Itu!” dan apakah
yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk Agama ini ? Maka sebagai
jawabannya, Gemuruhlah Suara Tahlil begitu Serempak yang menggoncangkan bumi, Kemudian ujar
Mush’ab : “Hendaklah ia mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta
bersaksi bahwa tiada tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah s.w.t. “
Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil
memeras air dari rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya
tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah s.w.t dan bahwa Nabi Muhammad
s.a.w. itu utusan Allah s.w.t.
Secepatnya berita itu pun tersiarlah. Keislaman Usaid dan disusul
oleh kehadiran Sa’ad bin Mu’adz. Dan setelah mendengar uraian Mush’ab , Sa’ad
merasa puas dan masuk Islam pula.
Langkah ini disusul oleh Sa’ad bin ‘Ubadah. Dan dengan keislaman
mereka ini, berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di
Madinah. Warga kota Madinah saling berdatangan dan bertanya-tanya diantara
mereka: “Jika Usaid bin Hudlair, Sa’ad bin ‘Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz
telah masuk Islam. Warga Kota Madinah berujar “Apalagi yang kita
tunggu”. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan Beriman bersamanya! Kebenaran itu
terpancar dari celah-celah giginya.!
Demikianlah duta Rasulullah s.a.w. yang pertama telah mencapai
hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan
layak diperolehnya. Hari-hari dan tahun-tahun pun berlalu, Rasulullah bersama
para shahabatnya hijrah ke Madinah.
Orang-orang Quraisy semakin geram dengan dendamnya, mereka
menyiapkan tenaga untuk melanjutkan tindakan kekerasan terhadap hamba-hamba
Allah s.w.t. yang sholeh. Terjadilah perang badar dan kaum Quraisy pun beroleh
pelajaran pahit yang menghabiskan sisa-sisa fikiran sehat mereka, hingga mereka
berusaha untuk menebus kekalahan. Kemudian datanglah giliran perang Uhud, dan
kaum Muslimin pun bersiap-siap mengatur barisan. Rasulullah s.a.w. berdiri
ditengah barisan itu, menatap setiap wajah orang yang beriman menyelidiki siapa
yang sebaliknya membawa bendera. Maka terpanggilah “Mush’ab yang baik”, dan
pahlawan itu tampil sebagai pembawa bendera.
Peperangan berkobar lalu berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah
melanggar tidak mentaati peraturan Rasulullah s.a.w. , mereka meninggalkan
kedudukannya di celah bukit setelah melihat orang-orang musyrikin menderita
kekalahan dan mengundurkan diri. Perbuatan mereka itu secepatnya merubah
suasana, hingga kemenangan kaum Muslimin beralih menjadi kekalahan.
Setelah peperanga usai, Mush’ab bin Umair melewati saudaranya, Abu
Aziz bin Umair yang sebelah tanganya sedang diikat seorang Anshar sebagai
tawanan. Dalam peperangan itu Abu Aziz bergabung bersama pasukan Musyrikin.
Mush’ab berkata kepada seorang Anshar yang sedang menawan Abu Aziz bin Umair “Ikat
kedua tanganmu sebagai ganti dirinya”. Sesungguhnya ibunya adalah orang
yang kaya raya. “Siapa tahu dia akan menbusnya dan kebusannya menjadi
miliku”. Lalu “Begitulah engkau memperlakukan aku?” Tanya Abu Aziz
bin Umair, jawab Mush’ab bin Umair “Dia juga saudaraku selain dirimu”.[5]
Dengan tidak diduga pasukan Quraisy berkuda menyerbu Kaum Muslimin
dari puncak bukit, lalu tombak dan pedang pun berdetang bagaikan mengamuk,
membantai kaum Muslimin yang tengah kacau balau. Melihat barisan kaum Muslimin
porak poranda, musuh pun menujukan serangan kearah Rasulullah s.a.w. dengan
maksud menghantamnya.
Mush’ab bin Umair menyadari suasana gawat ini. Maka diacungkannya
bendera setinggi-tingginya dan bagaikan aungan singa ia bertkbir
sekeras-kerasnya, lalu maju ke muka, melompat, mengelak dan berputar lalu
menerkam. Minatnya tertuju untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan
melupakan Rasulullah s.a.w. dengan demikian dirinya pribadi bagaikan membentuk
barisan tentara.
Sungguh walaupun seorang diri, tetapi Mush’ab bertempur laksana
pasukan tentara besar. Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng
kesaktian , sedangkan sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam,
tetapi musuh kian bertambah banyak juga, mereka hendak menyebrang dengan
menginjak-injak tubuhnya untuk mencapai Rasulullah s.a.w.
Sekarang marilah kita perhatikan saksi mata, yang akan menceritakan
saat-saat terakhir pahlawan besar Mush’ab bin Umair.
Berkata Ibnu Sa’ad: “Diceritak kepada kami oleh Ibrahim bin
Muhammad bin Syurahbil al-‘Abdari dari bapaknya ia berkata:
“Mush’ab
bin Umair adalah pembawa bendera di perang Uhud tatkala barisan kaum Muslimin
pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seorang musuh berkuda,
Ibnu Qumaimah namanya, lalu menembus tangannya hingga putus, sementara Mush’ab
mengucapkan : “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasulullah”, maka
dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya.
Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mush’ab membungkuk ke
arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada sambil
mengucapkan ; “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya
telah didahului oleh beberapa Rasul”. Lalu orang berkuda menyerang ketiga
kalinya dengan menggunakan tombak, dan menusuknya hingga tombak itu pun patah.
Mush’ab pun gugur, dan bendera jatuh”.
Gugrlah Mush’ab dan jatuhlah bendera. Ia gugur sebagai bintang dan
mahkota para syuhada. Dan hal itu dialaminya setelah dengan keberanian luar
biasa mengarungi kancah pengorbanan dan keimanan. Di saat ini Mush’ab
berpendapat bahwa sekiranya ia gugur, tentulah jalan para syuhada akan terbuka
lebar menuju Rasulullah tanpa ada pembela yang akan mempertahankanya. Demi
cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah dan cemas memikirkan nasibnya
nanti, ketika ia akan pergi berlalu, setiap kali pedang jatuh menerbangkan
sebelah tangannya, dihiburnya dirinya dengan ucapan : “Muhammad itu tiada
lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa
Rasul”.
Kalimat yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang
dan dibacanya sampai selesai, hingga akhirnya menjadi ayat al-Quran yang selalu
di baca orang.
Setelah pertempuran usai, ditemukanlah jasad pahlawan ulung yang
syahid itu terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya yang
mulia. Dan seolah-olah tubuh yang telah kaku itu masih takut menyaksikan bila
rasulullah s.a.w. ditimpa bencana, maka disemunyikannya wajahnya agar tidak
melihat peristiwa yang dikahawatirkan dan ditakutkan itu. Atau mungkin juga ia
merasa malu karena telah gugur sebelum hatinya tentram beroleh kepastian akan
keselamatan Rasulullah, dan sebelum ia selesai menunaikan tugasnya dalam
membela dan mempertahankan Rasulullah sampai berhasil.
Wahai Mush’ab cukuplah bagimu ar-Rahman..
Namamu harum semerbak dalam kehidupan...
Cucuran Air Mata Rasulullah bersama Para Shahabat untuk Mush’ab bin
Umair Al-Abdary
Rasulullah bersama para shahabat datang meninjau medan pertempuran
untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika samapai ditempat
terbaringlah jasad Mush’ab, bercucuranlah dengan deras air matanya. Berkata
Khabbah Ibnul ‘Urrat:
“Kami
hijrah di jalan Allah s.w.t. bersama Rasulullah s.a.w. dengan mengharap
keridhaan-Nya, hingga pastilah sudah pahala di sisi Allah s.w.t. Diantara kami
ada yang telah berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikit pun
juga. Di antaranya ialah Mush’ab bi Umair yang tewas di perang Uhud. Tak
sehelai kain pun untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andainya ditaruh di
atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan ke
kakinya, terbukalah kepalanya. Maka sabda Rasulullah s.a.w. : “Tutuplah ke
bagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idzkhir!”
Betapa pun luka pedih dan duka yang dalam menimpa Rasulullah karena
gugur ”Pemuda yang baik” (Mush’ab) dan tubuhnya dirusak oleh orang-orang
musyrikin demikian rupa, hingga bercucuranlah air mata Nabi Muhammad s.a.w. Dan
betapapun penuhnya medan laga dengan mayat para shahabat da kawan-kawannya,
yang masing-masing mereka baginya merupakan panji-panji ketulusan, kesucian dan
bercahaya. Betapa semua itu, tapi Rasulullah tak melewatkan berhenti sejenak
dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas dan mengeluarkan isi hatinya,
memang Rasulullah berdiri didepan Mush’ab bin Umair dengan pandangan mata yang
pendek bagai menyelubunginya dengan kesetiaan dan kasih sayang, Dibacakanya
ayat :
z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ×A%y`Í (#qè%y|¹ $tB (#rßyg»tã ©!$# Ïmøn=tã (
Nßg÷YÏJsù `¨B 4Ó|Ós% ¼çmt6øtwU Nåk÷]ÏBur `¨B ãÏàtF^t (
$tBur (#qä9£t/ WxÏö7s? ÇËÌÈ
“Di antara orang-orang mukmin itu ada
orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada
(pula) yang menunggu- nunggu(1) dan mereka tidak merobah (janjinya),” (QS. Al-Ahzab : 23)
Kemudian dengan mengeluh memandangi burdah yang digunakan untuk
kain tutupnya, seraya bersabda:
لقدرايتك بمكةومابهاارق حلةولااحسن لمة منك
ثم هاانت ذاشعث الراس في بردة
“Ketika di Mekkah dulu, tak seorang pun akan
lihat yanglebih halus pakainnya dan lebih rapi rambutnya dari padamu. Tetapi
sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah”
Setelah melayangkan pandang, pandangan sayu ke arah medan serta
para syuhada kawan-kawan Mush’ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru
:
ان رسول الله يشهدانكم اشهداء عند الله يوم
القيامة
“Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi
nanti di hari qiamat, bahwa tuan-tuan semua adalah syuhada di sisi Allah s.w.t.
Kemudian sambil berpaling ke arah shahabat
yang masih hidup, sabdanya :
“Hai manusia! Berziarahlah dan
berkunjunglah kepada mereka, serta ucaplah salam! Demi Allah s.w.t. yang
menguasi nyawaku, tak seorang muslim pun sampai hari qiamat yang memberi salam
kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya”.
[1] Al
Quran & Terjemah, DEPAG. 33:23
[2]
.Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, Khalid Muh. Khalid. Hal.41
[3] http//kisahmuslim.com/4799-mush’ab-bin-umair-teladan-bagi-para-pemuda-islam.html
[4] . Karakteristik
Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, Khalid Muh. Khalid. Hal.45
[5] Sirah
Nabawiyah, Syaikh Syafiur-Rahman Al-Mubarakfury.Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,
1997 hal.294-295
Komentar
Posting Komentar