Menyandingkan Legalitas, dan Moralitas Dalam Interaksi Sosial
Membicarakan
Moral erat kaitannya dengan manusia sebagai individu, atau salah satu tokoh
filusuf islam mengungkapkan Menurut Ibnu
Miskawaih “moral adalah suatu sikap mental yang
mengandung daya dorong untuk berbuat”. Tujuan moral adalah menyempurnaan manusia
sebagai individu. Moral yang bertujuan penyempuraan manusia berisi atau memberi
peraturan-peraturan yang bersifat batiniah (ditujukan
kepada sikap lahir).
Sedangkan hukum (kebiasaan, sopan santun,
norma) erat kaitannya manusia sebagai makluk sosial dan interaksinya. Tujuan
hukum adalah ketertiban masyarakat, Hukum
memberi peraturan-peraturan bagi perilaku lahiriah.
Batasan
perbedaan tersebut jangan dilihat terlalu tajam, karena hukum tidak semata-mata
(mutlak) memperhatikan tindakan-tindakan lahiriah saja, demikian pula moral
tidak hanya memperhatikan perilaku batiniah saja.
Menjelaskan hukum sebagai ketegasan dari benar dan salah. Menghukum seseorang
yang melakukan delik hanya apabila perbuatannya itu dapat dipertanggung
jawabkan, yaitu kalau ada kesalahan. Itupun masih dibedakan ada unsur kesenjangan
atau kelalaian atau tidak. Demikian pula hukum memberikan akibat pada perbuatan
yang dilakukan dengan iktikat baik atau tidak.
Apabila
hukum merupakan dan bertujuan pada perbuatan
lahiriah orang itu sesuai dengan peraturan hukum, maka tidak akan ditanya
mengenai batinnya (moral). Hukum sudah memliki kepuasan tersendiri dengan perilaku lahiriah yang sesuai dengan
peraturan hukum. Ambil saja contoh
Apabila
seseorang berbuat bertentangan dengan hukum maka baru akan dipertimbangkan juga
sikap batinnya. Perbuatan akan ditentukan oleh motief (alasan).
Moral
sebaliknya selalu menanyakan tentang sikap-sikap
batin dan tidak puas dengan sikap lahir saja. Kalau
yang diperhatikan hanya perbuatan yang memenuhi tuntutan hukum maka ada
perbedaan tajam antara hukum dan moral.
Tetapi
kalau hubungan dengan perbuatan yang bersifat melawan hukum, maka moral dan
hukum itu saling bertemu. Dalam hal perbuatan melawan hukum, moral dan hukum
itu saling bertemu. Disini moral dan hukum mempunyai bidang bersama. Perbedaan
antara hukum dan moral disini ialah bahwa jalan menuju ke bidang bersama itu
bertentangan arah, yaitu bagi hukum dari luar (dari
perbuatan lahir) ke dalam (ke
batiniah). Bagi moral dari dalam keluar.
Seringkali
hukum harus menghukum perbuatan yang timbul dari motif (alasan)
yang dibenarkan oleh moral. Ini merupakan akibat perbedaan dalam tujuan antara
hukum dan moral. Sebab syarat untuk adanya kehidupan bersama yang lebih baik
dengan yang baik dengan yang ditentukan oleh moral bagi manusia sebagai
individu. Contoh : pembunuhan atas perintah komandan; sumpah diganti janji. Moral
itu otonom dan Hukum
itu heteronom (moral objektif
atau positif).
Didalam
hukum ada kekuasaan luar (kekuasaan
diluar “aku”) yaitu masyarakat yang memaksakan kehendak. Kita tunduk pada hukum
diluar kehendak kita. Hukum mengikat kita tanpa syarat. Hukum bertujuan tatanan
kehidupan bersama yang tertib. Tujuan ini hanya dapat dicapai apabila diatas
dan diluar manusia individual ada kekuasaan yang tidak memihak yang mengatur
bagaimana mereka harus bertindak satu sama lain.
Sebaliknya
perintah batiniah (moral) itu
merupakan syarat yang ditentukan oleh manusia sendiri. Moral mengikat kita
karena kehendak kita. Moral bertujuan penyempurnaan manusia. Tujuan ini hanya
dapat ditentukan oleh masing-masing untuk dirinya sendiri.
Banyak
yang menyangkal sifat otonom dari moral. Disamping
ada moral objektif atau moral positif (kebiasaan,
sopan santun) ada moral otonom. Yang terakhir ini adalah moral yang
sesungguhnya.
Moral
berakar dalam hati nurani manusia, berasal dari kekuasaan dari dalam diri
manusia. Disini tidak ada kekuasaan luar yang memaksa manusia mentaati perintah
moral. Paksaan lahir dan moral tidak mungkin disatukan. Hakikat perintah moral adalah
bahwa harus dijalankan dengan sukarela. Satu-satunya perintah kekuasaan yang
ada dibelakang moral adalah kekuasaan hati nurani manusia. Kekuasaan ini tidak
asing juga pada hukum, bahkan mempunyai peranan penting.
Pada
umumnya peraturan-peraturan hukum dilaksanakan secara sukarela oleh karena kita
dalam hati nurani kita merasa wajib. Hukum dalam pelaksaannya terdapat dukungan
moral. Dasar kekuasaan batiniah dari hukum ini
dapat berbeda. Dapat terjadi karena isi peraturan hukum memenuhi keyakinan batin
kita. Akan tetapi dapat juga isi peraturan hukum kita mematuhinya.
Dibelakang
hukum masih ada kekuasaan disamping hati nurani kita. Masyarakat yang
menerapkan peraturan-peraturan hukum itu mempunyai alat kekuasaan untuk
melaksanakan pelaksanaanya kalau tidak dilaksanakan. Pelaksanaan
hukum tidak seperti moral yang hanya tergantung pada kekuasaan batiniah, tetapi
masih dipaksakan juga oleh alat-alat kekuasaan lahir/luar.
Hemat penulis Hukum memberika hak dan kewajiban
yang bersifat normatif dan atributif. Moral hanya membebani manusia dengan
kewajiban semata-mata Bersifat normatif. Perbedaan ini merupakan penjabaran
dari perbedaan tujuan. Hukum
bertujuan tatanan kehidupan bersama yang tertib dan membebani manusia dengan
kewajiban demi manusia lain. Moral yang bertujuan penyempurnaan manusia
mengarahkan peraturan-peraturannya kedapa manusia sebagai individu demi manusia
itu sendiri.
Hukum
menuntut legalitas: yang dituntut adalah pelaksaan atau pentaatan kaedah
semata-mata. Moral (kesusilaan) menuntut moralitas:
yang dituntut adalah perbuatan yang didorong oleh rasa wajib. Kewajiban adalah beban kontraktual
sedangkan tanggung jawab adalah beban moral.
Penulis sependapat dengan apa yang di kemukakan seorang
filusuf Ibnu Miskawaih ia memaparkan “menolak pendapat sebagian pemikir yunani yang
mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Bagi Ibnu
Miskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjada akhlak terpuji melalui
pendidikan (tarbiyah al-akhlak) dan latihan- latihan. Pemikiran seperti ini
jelas sejalan dengan ajaran agama islam karena syari’at islam bertujuan mengkokohkan dan memperbaiki akhlak manusia.
Dengan demikian, kita sering menjumpai di tengah masyarakat ada orang yang
memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat kepada
hewan.
Kesempurnaan
seseorang dapat dicapai melalui dua macam, yaitu kesempurn teoritis (Aturan/Hukum) dan
kesempurnaan praktis (Moralitas). Dengan kesempurnaan yang
pertama, ia akan memperoleh pengetahuan yang sempurna. Sementara itu, dengan
kesempurnaan yang kedua, ia akan memperoleh kepribadian yang sempurna. juga
menggambarkan bahwa manusia mempunyai tiga pembawaan: yang tertinggi adalah
akal, yang terendah adalah nafsu, dan diantara keduanya terletak keberanian.
Dengan demikian, kesempurnaan manusia, terutama, bergantung pada jiwa rasional. Tentunya bagi penulis, mengenai moral dan hukum merupakan dasar dari
keselarasan kita sebagai hakikat manusia, antara keduanya tidak ada yang di
unggulkan tetapi keduaya berdiri sama dan saling beriringan. Jadi pada
kesimpualnya, apabila ada seseorang yang melakukan perbuatan yang merugikan
orang lain. Tentunya salah satu diantara Moral dan Hukum ada yang tidak
dilaksanakannya. Maka akan terjadilah kesenjangan sosial. Dengan demikian, kita sering menjumpai di tengah masyarakat ada
orang yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih
dekat kepada hewan.
Bandung, 10 Mei 2018
Penulis : Yadi Jayadi
Rujukan Bacaan:
-Atif,Muhammad.
1978. Al-falsafat Al-IslamiyatKairo: Dar
Al-Ma’arif.
-Basri,
Hasan dan Mufti, Zaenal. 2009 Filsafat
Islam, Sejak Klasik sampai Modern.Bandung:CV. Insan Mandiri
-Basri,
Hasan. dkk. 2009. Filsafat Islam. Bandung: Insan Mandiri.
-Hanafi
Ahmad . 1996 . Pengantar Filsafat Islam . Jakarta : Bulan Bintang
-Harun
Nasution. 1973. Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam . Jakarta: Bulan Bintang.
-Hermawan,
Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat Islam, Bandung: Insan Mandiri
Komentar
Posting Komentar