KAMI BUTUH NEGARAWAN, BUKAN POLITISI


Memperhatikan media dewasa ini, media dipenuhi dengan nuansa perpolitikan, banyak statement dari para elit politik bahwasanya bangsa saat ini membutuhkan seorang politisi muda untuk membangun dan mengembangkan segala potensi yang ada. Tanpa bermaksud menggurui, perbedaan persepsi terkait dengan proses memaknai kata ataupun redaksi kalimat dalam kehidupan ini adalah sesuatu yang sangat asasi. Namun jika kita merujuk kepada realitas yang kita hadapi sekarang, para politisi di negeri ini mempunyai beban sejarah yang sangat panjang atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebutlah saja politisi dan negarawan sebagai dua kelompok tipikal manusia yang memiliki wewenang atau kebijakan  (policy) dalam mengelola dan membangun Republik ini.
Berdasarkan referensi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) politikus (jamak: politisi) adalah seseorang yang terlibat dalam politik, dan kadang juga termasuk para ahli politik. Politikus juga termasuk figur politik yang ikut serta dalam pemerintahan di sebuah negara. Lantas apa yang dimaksud dengan negarawan?. Masaih menurut KBBI, Negarawan adalah seseorang yang ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan. Jadi, inti dari aktivitas politisi dan seorang negarawan adalah mengelola negara.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu saja ditemukan tarik-ulur kekuasaan, hukum dan demokrasi yang bersumber kepada keserekahaan terhadap kekuasaan pada hal keserakaahan pada hal tersebut tidak hanya melanggara prinsif-prinsif negara hukum, demokrasi dan hak-hak asasi manusia, namun juga dapat melanggara prinsif-prinsif hukum administrasi dan asas-asas umum pemerintahan yang layak.
Dari optik hukum administrasi, kiranya dimasa sekarang inilah seharusnya mulai ditumbuhkan dan dikembangkan pemikiran-pemikiran tentang perlunya merekonseptualisasikan dan mereposisi, serta merefungsionalisasi kedudukan hukum administarasi dalam penyelenggaraaan pemerintah, khususnya asas-asas umum pemerintahaan yang layak , baik dipusat maupun didaerah sehingga secara perlahan dan pasti diharapkan mengubah tatanan instumentasi, dan orientasi kehidupan penyelenggaraan pemerintah menuju good goverment.
Konsep Good Government dan Good Governance yang marak didengungkan akhir-akhir ini pada intinya merupakan implementasi asas-asas negara hukum dan asas-asas demokrasi, yang merupakan dua landasn hukum administrasi. Hal ini berarti pengejawantahan Good Government dan Good Governance hanya mungkin ketika hukum administarsi berfungsi sebagai mana mestinya. Sebaliknya, jika hukum administrasi tidak berfungsi, Good Government dan Good Governance hanya akan menjadi selogan atau hanya menjadi selogan komodita politik.
            Sejalan dengan intervensi pemerintah dalam hal semua dimensi kehidupan warga negara, pemahaman terhadap norma-norma hukum administari menjadi penting bukan saja untuk bagi aparatur pemerintahan tetapi juga untuk warga negara dan tidak kalah pentingnya bagi negara penegak hukum.
            Hal yang sangat tegas yang membedakan antara politisi dan negarawan adalah pada aspek orientasi kepemimpinan. Meskipun keduanya sama-sama mengelola negara, namun seorang politisi lebih bersikap instan, pragmatis dan transaksional. Ia hanya berpikir temporal lima tahun kedepan dan pertimbangannya bukan maslahat tidak maslahat melainkan untung dan rugi. Konstituen politik yang seharusnya dimuliakan karena telah berperan menghantarkan ia menjadi elit politik pejabat negara, malah dieksploitasi dan dijadikan alat kepentingan untuk melanggengkan kekuasaannya. Seorang politisi sangat memungkinkan menjadi seorang pemimpin dengan watak penguasa yang tujuan berpolitiknya hanya satu, yakni melanggengkan kekuasaan dengan berbagai cara, bila perlu menghalalkan segala cara.
Lain hal ketika kita membincangkan sosok seorang negarawan. Bangsa kita secara khusus sangat merindukan sosok-sosok pemimpin yang berwatak negarawan. Negarawan pastilah memahami segala hal terkait dengan konsep manajemen, dan sangat mungkin iapun seorang manager dalam bidang pemerintahan. Orientasi berpikirnya bukan lagi kekuasaan melainkan memaslahatkan umat sepanjang hayat, tanpa pamrih melanggengkan kekuasaannya. Seorang negarawan senantiasa berpikir sepanjang hayatnya untuk kebaikan kehidupan rakyat. Ia adalah pribadi yang gelisah atas setiap keterpurukan yang mendera bangsanya. Founding Father kita Bung Karno adalah sosok seorang negarawan yang sangat dicintai oleh rakyat. Menyikapi realitas kebangsaannya pada awal-awal berdirinya Republik ini, ia tegas menyatakan bahwa rakyat Indonesia tidak miskin, melainkan dimiskinkan, rakyat Indonesia tidak bodoh melainkan dibodohkan, oleh siapa?, oleh sistem yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat banyak, oleh para politisi yang selalu haus akan kekuasaan dan penguasaan sumber-sumber material.
Kita selaku anak bangsa yang tinggal di daerah, membutuhkan ruang-raung aktualisasi seluas-luasnya, Adanya kerelaan rakyat untuk mau dipimpin oleh seorang negarawan dalam sebuah negara merupakan bentuk kedaulatan utuh tegaknya suatu sistem pemerintahan, selain wilayah, dan konstitusi sebagai prasyarat berdirinya sebuah negara.
Menurut tokoh filsafat yang memberikan klasifikasi tentang Negara diantranya, Kekuasaan Islam yang terus berkembang dan meluas keberbagai penjuru, memaksa terjadinya banyak ijtihad yang bermacam-macam, karena bermacam-macam pula kehidupan dan budaya  yang dihadapi di daerah kekuasan barunya itu. Dalam hal filsafat kenegaraan, menurut pandangan Al-Farabi membedakan negara menjadi lima macam.
Pertama, Negara utama (al-madinah al fadilah), yaitu negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Menurutnya, negara terbaik adalah negara yang dipimpin oleh Rasul, kemudian oleh para filsuf.
Kedua, Negara orang-orang bodoh (al-madinah al-jahilah), yaitu negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
Ketiga, Negara orang-orang fasik (al-madinah al-fasiqah), yakni negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan, dan akal (fa’al al-madinah al-fadilah), tetapi tingkah kemudian mengalami kerusakan.
Keempat, Negara yang berubah-ubah (al-madinah al-mutabaddilah), ialah negara yang penduduknya pada awalnya, mempunyai pikiran dan pendapat seperti  yang dimiliki negara utama, tetapi kemudian mengalami kerusakan. Dan Kelima, Negara sesat (al-madinah ad-dalalah), yaitu negara yang penduduknya mempunyai konsepsi pemikiran yang salah tentang Tuhan dan akal fa’al, tetapi kepala negar anya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu, kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.
Pokok filsafat kenegaraan menurut pandangan Al-Farabi ialah autoraksi dengan raja yang berkuasa mutlak mengatur negara. Di sini, nyata teori kenegaraan itu paralel dengan filsafat metafisikanya tentang kejadian alam (emanasi yang bersumber pada yang satu). Menurut Al-Farabi, negara yang utama ialah negeri yang memperjuangkan kemakmuran dan kebahagiaan warga negaranya. Untuk itu, ia harus berpedoman pada contoh teraturnya hubungan antara  Tuhan dengan alam dan antara isi satu sama lain.
Merujuk kepada realitas pemerintahan di atas, jelas sudah bahwa Bangsa ini tegas tidak membutuhkan sosok seorang politisi. Yang kita perlukan saat ini seorang negarawan yang dengan kewibawaan dan kharismanya mampu menjadikan bangsa ini sebagai etalase Nasional, tanpa harus mencerabut segala bentuk kearifan lokal yang diwariskan oleh para tokoh.  Kita butuh negarawan yang mampu mempertegas tiga kebinekaan kita sebagai bangsa, sekaligus mempraktekannya dalam pemerintahan. Kita sangat merindukan negarawan-negarawan yang faham akan hakikat kepemimpinan, pribadi yang sudah selesai dengan dirinya, pribadi yang tuntas dengan revolusi kesadaran tanpa harus terjebak dalam konflik-konflik revolusi yang berdarah-darah, kita harus lebih mengutamakan konsesus sosial yang humanis (merujuk kepada logika Emile Durkheim) dalam membangun bangsa ini lebih elok hari esok, dan lebih termanusiakan.
                                                                        Bandung, 18 Agustus 2018
Penulis Sunyi (Yadi Jayadi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”