“Penataan Ruang Kabupaten Cianjur Menurut Undang-Undang”

Penulis Sunyi : Yadi Jayadi














(Penulis bergiat : Mahasiswa UIN SGD BDG/Fakultas Syariah dan Hukum, PIMRED Lembaga Pers Mahasiswa, Pembina Remaja Komplek Griya Mitra, Guru DTA Mira Muhajirin Bandung)

“Undang-Undang No.26/ 2007 Tentang Penataan Ruang”

            Undang-undang ini memuat hukum tata ruang yang berisi sekumpulan asas, pranata, kaidah hukum, yang mengatur hal ikhwal yang berkenaan dengan hak, kewajiban, tugas, wewenang pemerintah serta hak dan kewajiban masyarakat dalam upaya mewujudkan tata ruang yang terencana dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antar lingkungan, tahapan dan pengelolaan bangunan, serta pembinaan kemampuan kelembagaan dan sumber daya manusia yang ada, berdasarkan kesatuan wilayah nasional dan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
            Cianjur memasuki usia ke-339 tahun. Usia yang seyogyanya sudah cukup untuk lebih maju dan bisa lebih maju dan mampu bersaing dengan kabupaten/kota lainnya di Jawa Barat. Berbagai harapan warga Cianjur juga terlontar di hari jadi kali ini untuk Kota Santri. Sudah Tiga abad silam merupakan saat bersejarah bagi Cianjur.
Dengan kurun waktu yang begitu lama “Cianjur” seharusnya menjadi kota yang maju dari pembangunan dan penataan kota-nya, tapi realitasnya kota Cianjur hari ini masih banyak “RP” untuk para pejabat di Cianjur yang terkesan “Semeraut” , ini menjadi sorotan dari tiap elemen diatarany, DPRD menilai Penataan ruang pembangunan di Kabupaten Cianjur masih terkesan semrawut. Pasalnya, hingga kini belum jelas pembagian zonasi yang diperbolehkan atau dilarang untuk pembangunan di berbagai sektor. "Kenapa bisa terkesan semerawut? Karena hingga kini Pemkab Cianjur belum menyerahkan draf rancangan peraturan daerah (Raperda) Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) untuk dibahas bersama-sama. Padahal, RDTR itu sangat diperlukan untuk menata zonasi sektor-sektor pembangunan di tingkat kecamatan yang saat ini masih terkesan acak-acakan,"
Pentingnya Raperda RDTR itu, lantaran saat ini iklim investasi di Kabupaten Cianjur mulai terlihat menggeliat dengan banyak berdirinya sejumlah pabrik. Nantinya, Perda RDTR itu menjadi sebuah pedoman dasar pembangunan di setiap wilayah kecamatan. "Saat ini secara kasat mata masih terlihat kesemrawutan penataan zonasi pembangunan di Cianjur, karena memang belum ada payung hukum dalam bentuk perda yang mengikat sebagai pengendali pembangunan wilayah,"

Selama ini, tata letak kota di Cianjur masih menganut pola-pola tradisional. Artinya, ketika ada pendopo, dipastikan di sekitarnya ada pusat-pusat kegiatan lainnya, seperti sarana ibadah (masjid), pasar, termasuk alun-alun. "Padahal seiring perkembangan zaman dengan tingkat lajur pertumbuhan penduduk maupun laju pertumbuhan ekonomi, mestinya pola tata letak wilayah itu sudah harus menganut pola modern.[1]
           
            Keluhkan masyarakat, beberapa ruas jalan protokol di Cianjur Kota. Pasalnya, kemacetan yang terjadi kian hari kian parah. Kemacetan di sejumlah ruas jalan menjadi keluhan paling banyak dalam dua tahu terakhir, mengingat sebelumnya di Cianjur Kota jarang terjadi kemacetan. "Cianjur yang dulu kotanya tenang dan lancar lalu lintas sekarang kian hari kian macet. Apalagi jam-jam tertentu. Semakin parah akhir-kahir ini, tapi kondisi ini berangsur sejak dua tahun terakhir. Kemacetan terjadi pada siang dan sore di beberapa ruas jalan.
Perkembangan kota yang semakin berkembang terlihat tidak diimbangi dengan penataan. "Jika melihat kondisi di lapangan, selain semrawut akibat banyaknya angkot yang mangkal sembarangan, juga kemungkinan besar semakin bertambahnya jumlah kendaraan,".
“Suherman mengaku memang dibutuhkan koordinasi antardinas yang baik dan ketegasan untuk membuat Cianjur kembali tertib. Pasalnya, dari awal, Cianjur tidak didesign untuk menjadi sebuah kota dan dalam perkembangannya ternyata mau tidak mau juga harus menjadi sebuah kota apalagi masuk dalam kota penyangga Jakarta dan Bandung," ucapnya.
Kekosongan aturan, kata Suherman, mengakibatkan beberapa ijin pendirian bangunan tidak ada payung hukumnya sehingga bangunan-bangunan yang sebenarnya dari sisi dampak dan etika merugikan khalayak ramai bisa lolos terbangun. "Ini juga kami butuh waktu menertibkan. Kalau Perda Tata Ruang Kota sudah disyahkan, setidaknya butuh 20 tahun untuk membentuk wajah kota Cianjur," tuturnya.[2]
Tanpa memahami hakikat keberadaan ruang maka proses perencanaan dan pembangunan dalam sebuah ruang berpotensi menimbulkan konflik yang pada gilirannya akan memberi dampak  permasalahan pada pemanfaatan dan pengendalian ruang.
            Menurut UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ( UUPR ) yang dimaksud dengan Ruang adalah  wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Tata Ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Yang dimaksud dengan proses  perencanaan tata ruang wilayah adalah proses perencanaan tata ruang yang menghasilkan Rencana  Tata Ruang Wilayah  (RTRW).  Disamping  sebagai “guidance of  future  actions”  RTRW pada dasarnya merupakan bentuk agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan  lingkungannya dapat  serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).
            Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan sendiri, sedangkan proses pengendalian pemanfaatan ruang  terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Dengan demikian,  selain  merupakan proses  untuk  mewujudkan  tujuan-tujuan pembangunan, penataan  ruang  sekaligus  juga merupakan produk yang memiliki  landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah.    
Bahkan sampai-sampai Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar. menganggap penataan tata ruang Kabupaten Cianjur masih semrawut. Pasalnya, Cianjur belum mempunyai Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) sebagai dasar untuk menerapkan tata ruangnya.
Menurut Deddy, keberadaan RDTR sangat penting supaya tidak ada silang pendapat yang tidak jelas untuk penggunaan lahan. Dengan adanya RDTR, setiap lahan sudah ditentukan peruntukannya. “Kalau sudah ada RDTR nanti kelihatan mana untuk perumahan, mana untuk lahan, mana untuk industri dan lainnya. Tidak ada alih fungsi yang seenaknya apalagi indsutri yang merusak lingkungan,”.
            Pemerintah Provinsi Jawa barat mendesak Pemerintah Kabupaten Cianjur untuk segera mengatur Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disusul dengan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) supaya mengantisipasi alih fungi lahan yang merusak lingkungan.

Di dalam UUPR termuat  tujuan penataan  ruang,  yakni terselenggaranya  pengaturan pemanfaatan  ruang kawasan  lindung  dan budidaya. Sedangkan sasaran penataan ruang adalah : Pertama. Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera,  Kedua. Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan buatan dengan  memperhatikan sumber daya manusia, Ketiga. Mewujudkan keseimbangan kepentingan antara kesejahteraan dan keamanan, Keempat. Meningkatkan pemanfaatan  sumber  daya alam  dan  sumber  daya  buatan  secara berdayaguna, berhasil  guna  dan  tepat  guna untuk  meningkatkan  kualitas sumber daya manusia, serta  Kelima. Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan. 

            Berangkat dari pengertian tersebut maka penataan ruang bukanlah sekedar aktivitas membangun infrastruktur an sich tetapi juga terkait dengan dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat memberikan nilai tambah bagi manusia dan mahluk lainnya untuk dapat hidup dan melakukan kegiatan, memelihara kelangsungan hidupnya serta meningkatkan kualitas hidup.
            Pembentukan kesepakatan ini terutama diperlukan agar setiap proses pemanfaatan sumber daya alam (misalnya ruang) dapat dilakukan secara lebih 'fair', tidak semata mempertimbangkan aspek efisiensi. Adalah tugas seorang perencana untuk menjadi mediator sosial dan politis (melalui antara lain professional expertise nya) agar tercapai suatu pemanfaatan ruang yang lebih demokratis. Ini berarti bahwa yang primer dalam kegiatan penataan/perencanaan ruang adalah proses sosial dan politis itu sendiri, sementara proses teknokratiknya menjadi sekunder -meskipun bukannya tak penting-. Karena hakekat perencanaan adalah bagaimana menghasilkan suatu keputusan politis tertentu atas permanfaatan ruang bagi masyarakat publik, bukan menjustifikasi suatu keputusan atau interest satu kelompok tertentu.

Bandung 08 Desember 2016
Penulis Sunyi : Yadi Jayadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”