“Hegemoni Partai Politik” “Kesemuan dalam Ber-Demokrasi” (Demokrasi Kita Terbuka Namun Partai Politik Begitu Mencengkram Kuat)

Penulis Sunyi : Yadi Jayadi

(Penulis Bergiat : Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (UIN SGD BDG), Pimpinan Umum LPM LENSA, Pembina Pemuda Komplek Griya Mitra Posindo – Bandung, Guru DTA Mitra Muhajirin - Bandung)

            Berdasarkan ciri-ciri sistem demokrasi tersebut maka penjabaran demokrasi dalam ketatanegara Indonesia dapat ditemukan dalam konsep demokrasi sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 sebagai ‘stats fundamentalnorm’. Selanjutnya didalam penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemetintahan Negara angka Romawi III dijelaskan “Kedaulatan Rakyat”. Rumusan kedaulatan di tangan rakyat menunjukkan bahwa kedudukan rakyatlah yang tertinggi dan paling sentral. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan negara dan sebagai tujuan kekuasaan negara. Oleh karena itu “rakyat” adalah merupakan paradigma sentral kekuasaan negara.

Menurut Abraham Lincoln, pengertian demokrasi adalah sistem pemerintah yang diselenggaran dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. 
            Pembahasan tentang peranan negara dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari telaah tentang demokrasi dan hal ini karena dua alasan. Pertama hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental sebagai telah ditunjukkan oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan lebih dari 100 Sarjana Barat dan Timur, sementara di negara-negara demokrasi itu pemberian peranan kepada negara dan masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda-beda (kendati sama-sama negara demokrasi). Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya tetapi ternyata demokrasi itu berjalan dalam jalur yang berbeda-beda. Dalam hubungannya dengan implementasi ke dalam sistem pemerintahan, demokrasi juga melahirkan sistem yang bermacam-macam.

            Perkembangan demokrasi dalam masa revolusi dan demokrasi pearlementer dicirikan oleh distribusi kekuasaan yang khas. Presiden Soekarno ditempatkan sebagai pemilik kekuasaan simbolik dan ceremonial, sementara kekuasaan pemerintah yang riil dimiliki oleh Perdana Menteri, Kabinet dan, Parlemen. Partai politik memainkan peranan sentral dalam kehidupan politik dan proses pemerintahan. Kompetisi antar kekuatan dan kepentingan politik mengalami masa keleluasaan yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Pergulatan politik ditandai oleh tarik menarik  antara partai di dalam lingkaran kekuasaan dengan kekuatan politik di luar lingkungan kekuasaan,  pihak kedua mncoba menarik pihak pertama ke luar dari lingkungan kekuasaan.

            Kegiatan partisipasi politik di masa ini berjalan dengan hingar bingar, terutama melalui saluran partai politik yang mengakomodasikan ideologi dan nilai primordialisme yang tumbuh di tengah masyarakat, namun hanya melibatkan segelintir elit politik. Dalam masa ini yang dikecewakan dari Soekarno adalah masalah presiden yang hanya sebagai simbolik semata begitu juga peran militer.

            Wajah demokrasi mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan tingkat ekonomi, poltik dan, ideologi sesaat atau temporer. Perkembangan yang terlihat adalah semakin lebarnya kesenjangan antara kekuasaan negara dengan masyarakat. Negara Orde Baru mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang kuat dan relatif otonom, dan sementara masyarakat semakin teralienasi dari lingkungan kekuasaan dan proses formulasi kebijakan.

            Demokrasi yang diterapkan Negara kita pada era reformasi ini adalah demokresi Pancasila, tentu saja dengan karakteristik yang berbeda dengan orde baru dan sedikit mirip dengan demokrasi perlementer tahun 1950-1959. Pertama, Pemilu yang dilaksanakan (1999-2004) jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya. Kedua, rotasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampi pada tingkat desa. Ketiga, pola rekrutmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka. Keempat, sebagian besar hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan pendapat.

            Sebagai konsekuensi negara menganut prinsip demokrasi berarti rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Dengan kata lain rakyat merupakan pemimpin dan penentu kebijakan negara. Hal demikian berbeda dengan negara yang menganut monarki dimana pemimpin adalah raja. Partai politik secara konseptual memiliki peran yang besar dalam proses demokratisasi. Pada intinya partai sebagai penyambung kepentingan dan alat komunikasi dengan konstituen. Melalui sistem perwakilan, para wakil tersebut menjalankan kedaulatan yang rakyat berikan dalam pemilihan umum. Sebelumnya rakyat memiliki hak untuk memilih, rakyat bebas menentukan siapa seseorang yang dianggapnya pantas dan layak untuk mewakili kepentingannya dan menyambung aspirasinya. 

                Konseptualisasi perwakilan dan kepartaian tidak serta merta berjalan mulus. Realitas demi realitas pun terjadi, dari pengingkaran amanah, penistaan janji hingga maraknya pelanggaran hukum yang pelibatkan wakil rakyat tersebut. Tidak hanya itu, mereka kini juga tampak semakin cerdik dalam membangun konspirasi demokrasi demi kepentingan dirinya dan kepentingan partainya. Rakyat hanya berfungsi sebagai legitimasi untuk melancarkan aksi penjarahan atas nama demokrasi itu sendiri.

            Partai politik yang didambakan akuntabel, transparan, partisipatif dan mampu mengartikulasi kepentingan konstituennya masih miskin terjadi di negeri ini. Keberadaanya justru sebatas berfungsi sebagai formalitas, yang untuk pengusulan calon anggota DPR, DPRD dan Presiden, belum berada pada posisi yang substantif sebagai penyambung kepentingan rakyat di akar rumput.

            Demokrasi adalah perwujudan pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. : Realita memahami konsep Demokrasi Di Negeri ini sungguh sangatlah menghawatirkan. Dalam pelaksanaannya selalu saja ditemukan banyak sekali penyelewengan-penyelewengan yang banyak dilakukan.
            Apabila Indonesia Di Bangun hanya atas dasar teori Demokrisasi semata (hanya ucapan) yang pada akhirnya Demokrasi melakukan penggusuran, Siapa yang akan tergusur ?, Yang akan tergusur adalah orang yang tidak memiliki kapital akan tergusur oleh Demokrasi, orang yang tidak meemiliki sumber daya informasi akan tergusur oleh demokrasi, orang yang tidak memiliki media informasi akan tergusur oleh demokrasi, kalau demokrisasi hadir tanpa kecerdasan masyarakat, tanpa peranan masyarakat maka sejatinya masyarakat kita "tergiring" bukan masyarakat yang memiliki "pendapat" (Gagasan).
            Kalau masyarakat "Tergiring" dan kebebasan berpendapatnya di kebiri, yang seharusnya masyarakat memiliki pendapat (ide/gagasan). Pertanyaannya : Siapa yang memiliki pendapat? Dewasa ini orang yang memiliki pendapat adalah orang yang memiliki dan menguasai teknologi dan informasi (Media), Siapa yang Menguasai Teknologi dan Informasi (Media)?. orang yang menguasai pendapat dan informasi adalah orang yang memiliki kapital.
            Fenomena ini sudah sangat jelas bahwa siap yang memiliki kapital besar maka dia akan menguasai pendapat, media informasi dan bahkan dengan modal kapital dapat membeli suara (ide/gagasan) masyarakat bawah, apakah seperti ini “Ber-Demokrasi” yang sesungguhnya ? atau kah pemerintah tidak bisa tegas dalam berdemokrasi, masih banyak kejahatan – kejahatan berdemokrasi di negara ini.
            Ini sangat menghawatirkan (Negara Ini Sakit) , jelasnnya orang yang tidak memiliki kapital (Orang Miskin) akan terseok-seok di sudut-sudut kehidupan bahkan jeritannya dan pendapatnya tidak akan terdengar, Ini Bukan Demokrasi namanya (ini Kesemuan dalam Ber-Demokrasi)
            Demokrasi yang sejati adalah "Menangkap dan memahami Seluruh Relung hati dan Kegelisahan Rakyat Tanpa Rakyat berbicara dan berpendapat, Karena Pemimpin Yang cerdas itu Adalah "Tidak menunggu rakyat bicara dan berpendapat, sebelum rakyat bicara Pemimpin sudah menyiapkan dan menyajikannya untuk kepentingan rakyat" bererti Demokrisasi belum mampu menghantarkan rakyat kepada keadilan kalau difahaminya Demokrisasi sebagai Asesoris, tapi kalau Demokrisasi difahami sebgai konsep paripurna (Faham Seluruhnya tatanan, suara hati rakyat, dan segala kebutuhannya) Demokrasi haruslah difahami dari Teks dan Konteks.
                                                                                    Bandung 18 Desember 2016
                                                                                    Penulis Sunyi : Yadi Jayadi



Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”