“Carut-Marutnya Sistem Politik” “Mengakibatan Budaya Yang Keliru Dalam Memahami Politik”

Penulis Sunyi : Yadi Jaydi
(Penulis Bergiat : Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum (UIN SGD BDG) Pimpian Umum LPM LENSA, Ketua Pembina Remaja Komplek Griya Mitra Posindo-Bandung, Guru DTA Mitra Muhajirin-Bandung)
           
Sistem politik di Indonesia sangat memprihatinkan akhir-akhir ini, menurut peneliti LSI mencatat, hanya 20,9 persen responden yang menyatakan situasi perpolitikan Indonesia berada dalam kondisi baik, adapun 2,0 persen lainnya menilai sangat baik, dan 34,2 persen menyatakan sedang atau normatif.
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, dan pengambilan keputusan. Siklus sistem politik indonesia bisa di artikan seperti berikut, yaitu input, proses dan output.
Input dalam sebuah sistem politik adalah aspirasi masyarakat atau kehendak rakyat seperti tuntutan, dukungan, dan sikap apatis. Proses dalam sistem politik mencakup serangkaian tindakan pengambilan keputusan baik oleh lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif dalam rangka memenuhi atau menolak aspirasi masyarakat. Output sistem politik berupa kebijakan publik di antaranya, pemenuhan aspirasi masyarakat dan penolakan/ketidaksediaan untuk memenuhi aspirasi masyarakat. Dan berikut dampak positif dan negatif dari sistem politik Indonesia saat ini.
            Perkembangan demokrasi dalam masa revolusi dan demokrasi pearlementer dicirikan oleh distribusi kekuasaan yang khas. Presiden Soekarno ditempatkan sebagai pemilik kekuasaan simbolik dan ceremonial, sementara kekuasaan pemerintah yang riil dimiliki oleh Perdana Menteri, Kabinet dan, Parlemen. Partai politik memainkan peranan sentral dalam kehidupan politik dan proses pemerintahan. Kompetisi antar kekuatan dan kepentingan politik mengalami masa keleluasaan yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Pergulatan politik ditandai oleh tarik menarik  antara partai di dalam lingkaran kekuasaan dengan kekuatan politik di luar lingkungan kekuasaan,  pihak kedua mencoba menarik pihak pertama ke luar dari lingkungan kekuasaan.

            Sistem politik nasional yang berkembang saat ini, ternyata membuka peluang terjadinya praktik korupsi di Indonesia. Penyebabnya, untuk menjadi anggota legislatif, gubernur, walikota atau bupati, membutuhkan biaya yang sangat mahal.
            “Ini fakta, 70% kepala daerah terjerat kasus korupsi. Bahkan di Jawa Tengah ada 50% kepala daerah yang terkena kasus korupsi. Itu karena sistem politik nasional yang multi partai dan sistem rekrutmen menampilkan politik biaya tinggi. Akibat mahalnya biaya politik untuk menjadi legislator, gubernur, walikota maupun bupati, para calon harus membayar dengan kuitansi yang berakibat terjadinya korupsi dan kolusi.
“Bayangkan saja, dalam satu putaran kampanye Pemilu 2009 untuk memilih pasangan presiden dan wakil presiden, pasangan SBY-Boediono menghabiskan dana Rp 20 miliar. Untuk dua putaran pasti tambah besar,”[1]
Akar masalah banyaknya kasus korupsi yang menjerat kalangan eksekutif, legislatif bahkan yudikatif, menurut Din, karena komitmen moral yang dijanjikan para calon di tiga lembaga negara tersebut ternyata sangat lemah. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk menggulangi praktik korupsi, di antaranya berupa perlunya ledakan dahsyat dari atas dalam pemberantasan korupsi.
Kini sudah saatnya pengadilan korupsi menerapkan Undang-Undang (UU) Antikorupsi yang bersifat pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik, diyakini akan membuat orang takut melakukan praktik korupsi..
“Kalau saat ini koruptor tidak punya rasa takut bahkan korupsi berjamaah, dengan pembuktian terbalik mereka akan takut. Penegakan hukum juga harus kuat. Jangan seperti sekarang, koruptor yang kaya bisa beli hukum dan dipidana dia bebas,”.
Semua elemen untuk memperkuat karakter moral bangsa. Dalam kaitan itu, Dalam konsensus tersebut ada tiga hal yang akan dibahas, yakni pertama konsolidasi demokrasi untuk meluruskan demokrasi yang berkembang saat ini agar tidak ke arah otoriterisme. Kedua, perubahan UUD 45 untuk mengukuhkan kembali peran golongan dan utusan daerah. Ketiga, adalah penguatan karakter dan moral bangsa.
            Dalam sistem proporsional terbuka rakyat berdaulat penuh. Namun realitas kondisi masyarakat yang masih lapar dan miskin, cenderung memilih wakil pemilik modal dan berduit, mengabaikan soal fatsun politik, moralitas apalagi kapasitas. "Melihat bentangan emperis selama ini, trend proporsional terbuka melahirkan wakil rakyat instan, berbekal ekses kapital dan popularitas semata," katanya melalui siaran pers, Jumat, 22 Juli 2016.
            Masyarakat Indonesia sangat heterogen. Heterogenitas bangsa Indonesia tidak dalam arti budaya saja melainkan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap budaya politik bangsanya. Bentuk budaya politik Indonesia merupakan subbudaya atau budaya subnasional yang dibawa oleh pelaku-pelaku politik hingga terjadi Interaksi, kerja sama dan persaingan antar-subbudaya politik itu. Interaksi dan pertemuan-pertemuan antar subbudaya itu melatarbelakangi tingkah laku para aktor politik yang terlibat dalam pentas panggung politik nasional.
            Budaya politik Indonesia hingga dewasa ini belum banyak mengalami perubahann pergeseran dan perpindahan yang berarti. Walaupun sistem politiknya sudah beberapa kali mengalami perubahan ditinjau dari pelembagaan formal. Misalnya sistem politik demokrasi liberal ke sistem politik demokrasi terpimpin dan ke sistem politik demokrasi pancasila. Budaya politik yang berlaku dalam sistem perpolitikan Indonesia relatif konstan.

            Di era reformasi sekarang ini sistem politik Indonesia mengalami perkembangan yang cukup bagus dan lebih demokratis dalam melibatkan partisipan dalam berbagai macam kegiatan politik seperti pemilu langsung untuk memilih wakil rakyat. Dalam pembentukan budaya politik budaya politik nasional, terdapat beberapa unsur yang berpengaruh, yaitu sebagai berikut :
      Pertama.Unsur subbudaya politik yang berbentuk budaya politik asal.  Kedua.Anaka rupa subbudaya politik yang berasal dari luar lingkungan tempat budaya politik asal itu berada. Ketiga.Budaya Politik Nasional itu sendiri.

            Lebih jauh lagi pertumbuhan politik nasional dapat dibagi dalam beberapa tahap.
      Pertama. Berlakunya politik nasional yang sedang berada dalam proses pembentukannya.  Kedua. Budaya politik nasional yang tengah mengalami proses pematangan. Pada tahap ini, budaya politik nasional pada dasarnya sudah ada, akan tetapi masih belum matang. Ketiga. Budaya politik nasional yang sudah mapan yaitu budaya politik yang telah diakui keberadaannya secara nasional.
            Dalam praktiknya politik modern akan menjadi tantangan yang harus dipikirkan oleh politikus muda. Sebab, hingga saat ini kecenderungan politik kotor mulai mencoba melekat pada sistem politik di Indonesia.
            Di tempat yang sama, Pengamat Politik mengatakan, pemaknaan politik sebagai perjuangan suci merupakan hasil proses perjalanan politik panjang. Meski begitu, bukan tidak mungkin jika politikus muda bisa memaknai politik suci dan menerapkannya pada langkah politik saat ini. Sudah lama orang menyesatkan arti politik. Pernyataan yang muncul tentang politik selama ini didominasi arti merebut kekuasaan, merebut kursi, ngotot demi kepentingan pribadi. Sebenarnya saat ini merupakan momentum bagus bagi seluruh politikus untuk memaknai politik itu suci dalam masa transisi berdemokrasi.
                                                            Bandung 26 Des 2016 (Penulis Sunyi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”