“Apatisme Masyarakat Dalam Kontribusi PILKADA dan PILPRES”

Penulis Sunyi : Yadi Jayadi
(Penulis Bergiat : Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum (UIN SGD BDG) Pimpian Umum LPM LENSA, Ketua Pembina Remaja Komplek Griya Mitra Posindo-Bandung, Guru DTA Mitra Muhajirin-Bandung)
            Pada 1 Juli 2016 lalu telah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengesahkan Perubahan Kedua atas Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.   
            Masyarakat sangat berharap Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai sarana yang bersifat demokratis untuk membentuk sistem kebijakan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh Undang-undang Dasar Negara. Kekuasaan dan kebijakan  negara yang lahir dengan Pemilihan Umum adalah kekuasaan yang lahir dari kehendak rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat menurut sistem permusyawaratan perwakilan.
            Dalam meujudkan penyusunan tata kehidupan yang dijiwai semangat cita-cita revolusi Kemerdekaan RI Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana tersebut dalam Pancasila/Undang-undang Dasar 1945, maka penyusunan tata kehidupan itu harus dilakukan dengan jalan Pemilu.
            Pemilihan Umum adalah suatu  alat yang penggunaannya tidak boleh mengakibatkan rusaknya sendi-sendi demokrasi dan bahkan menimbulkan hal-hal yang membuat rakyat menderita , tetapi harus menjamin suksesnya perjuangan Orde Baru, yaitu pembangunan nasional, dan tetap tegaknya Pancasila dan UUD 1945.
            Akhir-akhir ini Apatisme Masyrakat dalam politik seringkali hanya diartikan dalam tindakan personal dimasyarakat untuk tidak ikut serta dalam agenda politik parah ahlipun sering kali memberikan indikator apatisme hanya dari keikutsertaan masyarakat pada sebuah agenda politik.
            Para pemilih yang di anggap apatis tersebut tetap datang ketempat pemungutan suara dan memilih, apatisme masyarakat juga sering kali di salah artikan sebagai golongan putih yang berati sekelompak masyarakat yang menolak untuk memilih, mengukap data golput dari tahun 2005 sampai tahun 2010 ditemukan angka golput secara rata mencapai 27,9% – 35,0% LSI menganggap golput sebagai gerakan sosial akan tetapi sebagai nonpartisan.
            Kesalahan interpretasi ini terus berlangsung hingga saat ini. Masyarakat sering kali menghindari pertayaan-pertayaan mengenai politik dan langsung meyebut politik itu buruk jahat dan korup agaknya ide ini tidak berkembang dengan sendirinya ide mengenai citra politik yang buruk ini di dapat masyarakat dari dari media massa baik dari media cetak maupun elektronik yang juga milik beberapa beberapa toko politik yang merangkap sebagai pengusaha, dan dalam masyarakat sering kali terlontar dictum “siapapun pemimpinnya tida bisa merubah keadaan, masyarakat tetap sengsara (secara ekonomi), apatisme maupun golput sangat berbahaya bagi Negara demokeratis karena akan mengarah pada kerisis legitimasi kekuasaan dan kebijakan.
            Bahaya dari golput dan apatisme masyarakat adalah langgenya status quo dan jatuh nya pemimpin Negara ke pada orang yang salah, apatisme masyarakat dalam pentas politik di Indonesia dengan berasumsi bahwa apatisme masyarakat secara structural merupakan dampak  dari alienasi politik .
            Apatis adalah sikap masyarakat yang masa bodoh dan tidak mempunyai minat atau perhatian terhadap orang lain, keadaan, serta gejala-gejala sosial politik pada umumnya. Orang-orang yang apatis menganggap kegiatan berpolitik sebagai sesuatu yang sia-sia, sehingga sama sekali tidak ada keinginan untuk beraktivitas di dunia politik. Orang-orang yang bersikapa apatis terhadap kegiatan berpolitik di karena sebagian masyarakat yang sama sekali tidak memahami hakikat politik sesungguhnya. Sikap apatis masyarakat terhadap politisi menjadi penyebab utama golput (golongan putih), golongan putih diartikan sebagai pilihan politik warga negara untuk tidak menggunakan hak pilih.
            Hal ini berkaitan dengan partisipasi politik. Keinginan golput merupakan pilihan yang dilakukan secara sadar, karena kenyataannya dari dulu mulai kampanye hingga pemilihan akhirnya semua tetap sama saja, sehingga adanya sebagian orang yang mengabaikan Pemilu.
            Salah satu alasan yang menyebabkan sikap apatis pada masyarakat umumnya adalah dengan adanya anggapan pada individu dan masyarakat bahwa partisipasi politik adalah hal sia-sia karena tidak pernah efektif. Pola pikir masyarakat melihat elite politik yang senantiasa selalu membodohi masyarakat.
            Masyarakat yang mempunyai pengalaman dan pemahaman bahwa pemerintah dan elit politik, baik tingkat pusat maupun daerah, selama ini tidak mampu melakukan perubahan sosial politik bagi perbaikan nasib rakyat banyak. Masyarakat yang umumnya ada perasaan terasingkan dari politik atau pemerintahan dan cenderung berpikir bahwa pemerintahan dan politik hanya dilakukan oleh dan untuk orang lain, jadi merasakan dan memandang berbagai kebijakan elit politik atau pemerintah tidak lagi bersesuaian dengan sikap dan pemikiran politiknya atau kepentingan rakyat banyak.
            Masyarakat memandang elite politik tidak mengalami perubahan yang jelas. Hal ini bisa dari masyarakat yang menjadi korban kebijakan politik yang sedang berkuasa. Ada sebagian masyarakat yang sangat mengerti sekali dengan politik tetapi pemilu tak ubahnya hanya sandiwara politik karena hakikatnya, pemilu hanya akan menguntungkan secara politik dan ekonomi elit politik.
            Golput muncul karena berdasarkan bahwa keberadaan pemilu dan aktivitas memilih tidak akan berdampak lebih baik pada diri pemilih. Hal ini terjadi ditengah masyarakat yang terjebak pada apatisme. Kecenderungan ini muncul ketika norma-norma sosial yang selama ini disepakati dan dijabarkan dalam suatu masyarakat mengalami kelonggaran, kegoyahan, dan kehilangan fungsinya yang efektif. Golput bukanlah pilihan tepat dan cenderung mendorong masyarakat apatis. Kondisi ini bisa menciptakan rendahnya legitimasi pemerintah serta mendorong munculnya masyarakat yang antipati terhadap perkembangan politik. Dampaknya akan mendorong lemahnya sarana-sarana politik formal yang ada saat ini.
            Terus turunnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum (Pemilu), dirasa sangat mengkhawatirkan sistem demokrasi. Hal itu menunjukkan meningkatnya sikap apatis masyarakat terhadap Pemilu dan partai politik (parpol). Oleb karena itu, paket UU Politik yang tengah dibahas di parlemen harus mengantisipasi hal ini. Untuk menyelematkan demokrasi harus ada upaya dari segenap komponen bangsa dalam meningkatkan partisipasi masyarakat. Salah satunya adalah memperbesar tingkat keterwakilan masyarakat dalam pemilu. “Sistem pemilu mendatang harus lebih baik, sehingga tingkat keterwakilan masyarakat pemilih benar-benar diperhatikan. Suara mereka harus benar-benar dihargai.
            Perkembangan politik selama tahun 2010, terdapat kecenderungan monopoli atau dominasi oleh beberapa entitas politik tertentu. Seolah-olah, pengelolaan negara ini tidak perlu melibatkan komponen bangsa yang lain. Sikap semacam itu, bukan hanya kontraproduktif bagi upaya membangun kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara, tetapi juga berarti membiarkan adanya potensi bangsa yang idle (diam). Sikap itu tidak memunculkan semangat kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara. 

                                                            Bandung 29 Desember 2016 (Penulis Sunyi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”