GENDER DALAM UU HUKUM PERKAWINAN (PERSPEKTIF YURIDIS-EMPIRIS)”.
Meskipun UUD 1945
menjamin persaman hak laki-laki dan perempuan, tapi realitasnya masih banyak
dijumpai substansi, struktur dan budaya yang diskriminatif gender yang
dilegitimasi undang-undang.Peraturan perundang-undangan masih ada yang belum
lengkap dalam melindungi perempuan, serta belum dilaksanakan secara konsekwen
dalam melindungi perempuan. Padahal keadilan dan kesetaraan gender
menjadi isu yang sangat penting dan menjadi komitmen negara-negara di dunia
termasuk Indonesia untuk melaksanakannya. Akan tetapi hingga saat ini realitas
menunjukkan bahwa bias gender masih terasa. Perempuan tetap tersubordinasikan
oleh laki-laki
Terbukanya kran demokrasi dan kebebasan
berbicara telah membuka suara-suara dan ide-ide yang selama ini cenderung
bungkam karena ditekan oleh tindakan represif penguasa. Salah satu bidang yang
mendapat porsi yang cukup besar dan mendapatkan ruang gerak yang leluasa adalah
menyangkut masalah perempuan. Isu-isu dan gerakan tentang emansipasi, kesetaraan
gender, dan perjuangan hak-hak perempuan telah menjadi perbincangan dan wacana
yang menarik.
Atmosfir perbincangan tentang perempuan
ini semakin hangat ketika kasus-kasus pelecehan dan kekerasan terhadap
perempuan semakin menjadi-jadi. Hampir setiap hari media baik elektronik maupun
cetak menayangkan berita pemerkosaan, kekerasan suami terhadap istri dan anak
perempuan, serta tingkat aborsi yang sangat tinggi ( mencapai 4 juta kasus
setiap tahunnya di Negara ini )[2].
Perlakuan yang diskriminatif dan
semena-mena terhadap perempuan ini tidak hanya berada pada dataran kasus per
kasus, namun telah menginjak dataran kebijakan pemerintah. Hingga kini
Indonesia belum mampu memberikan perhatian serius terhadap
pemberdayaan perempuan. Kebijakan-kebijakan yang ada selama ini belum
memperlakukan perempuan secara adil.Hal itu dapat dilihat dari Undang-Undang
(UU) yang masih bias gender. Antara lain, UU yang mengatur pencatatan
perkawinan, poligami, batas usia nikah, kedudukan suami-istri, hak dan
kewajiban suami-istri. Padahal, negara memiliki peran penting dalam mendukung
upaya pemberdayaan perempuan melalui regulasi yang dibuat oleh pemerintah
sehingga perempuan tidak lagi mengalami diskriminasi dalam segala aspek
kehidupan.Hal ini juga dipengaruhi budaya kita yang patriarki yang berimplikasi
terhadap kehidupan perempuan selanjutnya.
Bidang hukum yang seharusnya memberikan
jaminan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi perempuan ternyata masih
jauh dari harapan.Bahkan, sebaliknya banyak produk hukum yang menyudutkan
perempuan.Berbagai fenomena menunjukkan betapa perempuan masih termarginalkan
dan belum terakomodir penuh hak-haknya termasuk dalam suatu perundang-undangan.
Misalnya berdasarkan suatu pengakuan dari si A,audience yang
berasal dari kota Probolinggo pada suatu seminar yang bertemakan “Perempuan,
Poligami dan Politik” yang diadakan di Hotel Garden Palace Surabaya tanggal 10
Juni 2007. Dia adalah korban poligami.Bapaknya menikah lagi, sedangkan isteri
pertamanya (yaitu Ibu si A) sudah berusaha memberikan dan menjadi isteri yang
terbaik, tapi ternyata si suami tetap menikah lagi. Sejak saat itu, Isteri
pertama sudah tidak lagi mendapat nafkah untuk menghidupi diri dan
anak-anaknya, sehingga ia terpaksa harus banting tulang. Karena keterbatasan
ekonomi, si anak yang kebetulan juga perempuan tidak mendapatkan pendidikan
yang layak[3].
Kasus tersebut menunjukkan bahwa UUP tidak
efektif.Masih banyak laki-laki yang berpoligami tanpa memenuhi persyaratan yang
ditentukan oleh undang-undang.Hal ini dikarenakan tidak ada sanksi yang tegas
bagi pelaku yang melanggar ketentuan tersebut. Tidak hanya itu,
menurut Pasal 4 ayat 3 UUP pengadilan hanya akan memberi izin untuk berpoligami
jika isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya, isteri mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.Sedangkan dalam kasus tersebut si isteri tidak memenuhi seluruh
kriterianya. Pun demikian, pada dasarnya pasal tersebut masih bias gender.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana jika suami yang memiliki kekurangan
sebagimana diatur dalam pasal tersebut?
Setelah bergulirnya
reformasi, perempuan seperti terbangun dari tidur panjang. Suara-suara
perempuan yang tadinya termarjinalkan karena kuatnya peran negara dalam
menentukan peran perempuan, kini mencuat ke permukaan. Salah satunya adalah
mencoba untuk melakukan upaya revisi terhadap UU No 1/1974 tentang Perkawinan,
yang mengangkat harkat dan martabat perempuan, sehingga tidak bias gender dan
tidak mengakomodasi hak-hak perempuan. Dengan demikian
maka penulis akan membahas “BIAS GENDER DALAM UU HUKUM PERKAWINAN
(PERSPEKTIF YURIDIS-EMPIRIS)”.
A. PENGERTIAN
GENDER AKAR AWAL TIMBULNYA BIAS GENDER
Kata ‘gender’
berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s
New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah
laku. Sedangkan H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai
suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif
dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Sedangkan menurut
Oakley dalam Sex, Gender dan Society yang dimaksud Genderadalah
perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan bukankodrat
Tuhan.Perbedaan biologis jenis kelamin (sex) merupakan kodrat Tuhan dan
oleh karenanya secara permanent dan universal berbeda.Sementara gender adalah behavioral
differences antara laki-laki dan perempuan yang socially
constructed, yakti perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan
melainkan diciptakan oleh baik laki-laki dan perempuan melalui proses sosial
dan budaya yang panjang.[7]
Dalam tulisan ini
penulis mengartikan ‘gender’ sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat
serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan
jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Ada perbedaan secara biologis antara
perempuan dan laki-laki, namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini
menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan
pada gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Kendati tuntutan ini
bervariasi di setiap masyarakat, tapi terdapat beberapa kemiripan yang
mencolok. Misalnya, hampir semua kelompok masyarakat menyerahkan tanggung jawab
perawatan anak pada perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan pada
laki-laki. Meski demikian perlu dicatat bahwa gender tidak semata-mata mempersoalkan perbedaan dan pembedaan an sich antara
laki-laki dan perempuan; terlebih penting lagi ia menyangkut dominasi baik dari
konteks relasi maupun distribusi kekuasaan.
Jadi bias gender
adalah kebijakan/program/kegiatan atau kondisi yang menguntungkan pada salah
satu jenis kelamin yang berakibat munculnya permasalahan gender.[8] Atau lebih
sederhananya bias gender adalah perlakuan yang tidak seimbang antara laki-laki
dan perempuan yang kecenderungan untuk menomorduakan status perempuan di
masyarakat.
B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB BIAS GENDER
Ada empat faktor yang
mengkontruksi Bias Gender ini.
Faktor pertama adalah budaya masyarakat
yang patriarki.Pada awalnya konstruksi budaya patriarki tersebut sangat erat
hubungannya dengan budaya feodal.Jika ditinjau dari konteks budaya feodal,
-yang merupakan warisan bangsa penjajah-, jelas menunjukkan bahwa kedudukan
perempuan adalah subordinat terhadap laki-laki.Hal ini berimplikasi pula
terhadap kekuasaan laki-laki terhadap perempuan.Perempuan dalam hal ini
dianggap ‘the second person’. Berpijak dari fakta empiris,
fenomena di masyarakat menunjukkan bahwa superioritas laki-laki atas perempuan
sering berdampak terjadinya kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan
psikis
Kedua adalah konstruksi teologis. Dalam
budaya masyarakat jika ditelusuri keberlangsungan keterpurukkan perempuan salah
satunya dilatarbelakangi oleh kekurangarifan dalam menafsirkan dalil-dalil
agama Islam yang kemudian seringkali dijadikan dasar utuk menolak kesetaraan
jender. Kitab-kitab tafsir dijadikan referensi untuk melegitimasi paradigma
patriarki, yang memberikan hak-hak istimewa kepada laki-laki dan cenderung
memojokkan perempuan dengan pendefinisian yang negatif.Pendefinisian sosok
perempuan yang negatif ini kemudian diwariskan secara turun temurun yang pada
akhirnya mengendap dalam alam bawah sadar perempuan yang menimbulkan
ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam hubungannya sebagai
hamba Tuhan. Dengan kata lain pemahaman akan posisi perempuan yang
bias gender sudah dengan sendirinya tertradisikan di masyarakat yang dibakukan
oleh konstruksi budaya dan doktrin keagamaan serta ditopang oleh nilai-nilai
kultural dan ideologis.
Ditambahn lagi sejumlah ulama telah
menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis dengan penafsiran yang bias gender dan
bias nilai-nilai patriarkhat.Hal itu karena mereka berpijak pada teks
harfiyahnya yang sepintas memang tampak mendukung penafsiran demikian.apalagi
pengaruh latar belakang sosio-historis dan sosio-politis para penafsir yang
umumnya didominasi budaya patriarki. Pada masyarakat dimana unsur
budaya patriarki sangat dominan, penafsiran seperti itu bukan hal yang janggal
dan karenanya tidak dipersoalkan. Akan tetapi, pada masyarakat yang menjunjung
tinggi nilai-nilai demokrasi atau sedang mengalami proses demokratisasi dengan
upaya-upaya penegakan hak-hak asasi manusia, penafsiran tersebut dirasakan
sangat tidak kondusif lagi. Karena itu, diperlukan
reinterpretasi ajaran agama agar sesuai dengan tuntutan dinamika masyarakat.
Padahal posisi antara
laki dan perempuan adalah sederajat. Berdasarkan beberapa ayat-ayat di al-Qur’an, akan diketahui bahwa Islam
mengakui persamaan kedudukan, -hak dan kewajiban- antara laki-laki dan
perempuan. Kesamaan antara perempuan dan laki-laki itu, terutama dapat dilihat
dari tiga dimensi. Pertama, dari segi hakikat kemanusiaannya. Dilihat dari
hakikatnya sebagai manusia, Islam memberikan kepada perempuan sejumlah hak
untuk meningkatkan kualitas kemanusiaannya, seperti hak mendapatkan pendidikan,
hak berpolitik, dan hak-hak lain yang berkenaan dengan urusan
publik. Kedua, dari segi pelaksanaan ajaran agama, Islam mengajarkan bahwa
perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat pahala atas amal saleh yang
diperbuatnya. Sebaliknya, keduanya pun akan mendapatkan siksaan atas dosa yang
diperbuat. Tidak satupun amalan dalam Islam yang memberikan
keistimewaan kepada salah satunya. Bahkan juga disebutkan bahwa perempuan adalah
mitra sejajar laki-laki[11].
Ketiga, Jika ditilik lebih mendalam, pada
prinsipnya semua penafsiran, mazhab-mazhab, dan aliran-aliran itu adalah hasil
ijtihad atau pemikiran manusia.Dan karena semua ijtihad dan pemikiran itu
bukanlah wahyu yang bersifat absolut, melainkan bersifat relatif, maka semua
bentuk ijtihad atau pemikiran itu bisa berubah dan boleh berubah sesuai dengan perkembangan
kebutuhan manusia dan tuntutan kemajuan zaman. Sejak zaman klasik Islam, para
ulama besar sudah terbiasa menerima keragaman penafsiran dan hasil ijtihad
dengan sikap demokratis, penuh pengertian, dan lapang dada, bahkan para imam
mujtahid, yakni para pendiri mazhab yang terkemuka, seperti Imam Hanafi, Imam
Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hanbal tak segan-segan menghimbau para
murid dan pengikutnya untuk tidak bersikap fanatik dan taklid buta, apalagi
mengklaim bahwa pendapat merekalah yang mutlak benar. Sebaliknya, para imam
mazhab itu secara tertulis meminta kepada para penganut mazhabnya untuk tetap
bersikap terbuka menerima kritik, dan jika perlu mengubah pendapat mereka
dengan pendapat yang lebih kuat argumentasinya.Itulah sikap tasamuh (toleransi)
yang banyak diajarkan para ulama pendiri mazhab.
Faktor penyebab kesenjangan gender yang
ketiga adalah tata nilai sosial budaya masyarakat, Jika dilihat dari konstruksi
budaya patriarki, ajaran Islam yang demikian ideal dan luhur itu dalam
perkembangan selanjutnya, terutama setelah kekuasaan Islam meluas ke berbagai
wilayah yang penduduknya masih kental menganut budaya patriarki, mengalami
perubahan sangat drastis. Ajaran Islam yang sangat
mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, prinsip-prinsip egalitarian, inklusif,
dan nilai-nilai demokrasi serta ramah terhadap perempuan ternyata tidak lagi
dipraktekkan sebagaimana mestinya.
Akibatnya, kaum perempuan di berbagai
wilayah Islam kembali diperlakukan seperti pada masa Jahiliyyah.Perempuan
kembali terkekang di dalam rumah dan dituntut mengerjakan tugas-tugas tradisional
mereka selaku perempuan –salah satunya tugas rumah tangga-.Mereka hanya boleh
keluar jika ada izin suami atau kerabat lelakinya, itu pun untuk keperluan
darurat.Perempuan tidak lagi memiliki kebebasan bersuara, berkarya dan
berharta.Bahkan, mereka tidak bebas lagi memilih model busana (walaupun tetap
sopan, tidak merangsang), melainkan harus mengenakan hijab, semacam pakaian
yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.Tentu saja kondisi
demikian tidak kondusif bagi perempuan untuk berkiprah dan beraktivitas di
masyarakat secara leluasa sebagaimana pernah terjadi di masa Rasul. Kondisi seperti
inilah yang masih berlangsung sampai sekarang, termasuk di kalangan umat Islam
Indonesia.umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideologi
patriarki); Peraturan perundang-undangan masih banyak yang berpihak pada salah
satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender;
Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderungtekstual kurang
kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang holistik; Rendahnya pemahaman
para pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti,
tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender, serta konstruksi feodalisme
yang masih melekat di Indonesia.
Dilihat dari
konstruksi institusi negara dalam pembentukan hukum. Analisis terhadap
kasus-kasus hukum mengungkapkan bahwa ketimpangan gender dalam bidang hukum
dijumpai pada tiga aspek hukum sekaligus sebagaimana diungkapkan Friedman,
yaitu pada materi hukum (content of law), budaya hukum (culture of
law) dan struktur hukumnya (structure of law). Pada aspek struktur,
ketimpangan gender ditandai oleh masih rendahnya sensitivitas gender di
lingkungan penegak hukum, terutama di kalangan polisi, jaksa dan hakim.Lalu,
pada aspek budaya hukumnya juga masih sangat dipengaruhi nilai-nilai patriarki
yang kemudian mendapat legitimasi kuat dari interpretasi agama. Tidak heran
jika selanjutnya agama dituduh sebagai salah satu unsur yang melanggengkan
budaya patriarki dan mengekalkan ketimpangan relasi gender dalam bidang hukum.
Hal itu kemudian
diperparah oleh keterbatasan materi hukum yang ada sebagaimana terlihat dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang akhir-akhir ini menjadi sorotan
publik.Materi hukum dalam sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut sarat
dengan muatan nilai-nilai patriarki yang bias gender, bahkan peraturan
perundangan-undangan tersebut masih menjadikan perempuan sebagai obyek, bukan
sebagai subyek. Akibatnya, perempuan kehilangan haknya menikmati tujuan
perundang-undangan dan menjadi kelompok yang dirugikan dan dipinggirkan atas
nama Peraturan perundangan-undangan.
C. BIAS GENDER DALAM HUKUM PERKAWINAN
Melalui
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1984 Indonesia telah meratifikasi konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang otomatis
mengharuskan peraturan perundang-undangan kita untuk mengakomodasi hak-hak dan
kepentingan perempuan. Dalam Konvensi tersebut tercantum beberapa alasan
mengenai pentingnya pemajuan hak asasi perempuan dan komitmen-komitmen dari
negara-negara penandatanganan Konvensi dan hanya bila komitmen itu
diimplementasikan, maka barulah akan terwujud kesetaraan gender. Namun,
berbagai kenyataan di lapangan menunjukkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak-hak
perempuan dan belum terwujudnya kesetaraan gender. Hal ini menunjukkan bahwa
masih adanya bias gender dalam perundang-undangan[17].
Meskipun UUD 1945
menjamin persaman hak laki-laki dan perempuan, tapi realitasnya masih banyak
dijumpai substansi, struktur dan budaya yang diskriminatif gender yang
dilegitimasi undang-undang.Peraturan perundang-undangan masih ada yang belum lengkap
dalam melindungi perempuan, serta belum dilaksanakan secara konsekwen dalam
melindungi perempuan.
Keadilan dan
kesetaraan gender menjadi isu yang sangat penting dan menjadi komitmen
negara-negara di dunia termasuk Indonesia untuk melaksanakannya. Akan tetapi
hingga saat ini realitas menunjukkan bahwa bias gender masih terasa. Perempuan
tetap tersubordinasikan oleh laki-laki.
Dengan demikian
penulis lebih menspesifikkan pembahasan bias gender dalam peraturan
perundang-undangan khususnya tentang poligami dalam undang-undang perkawinan.
Dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (UUP)
yang berbunyi “Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: (a)
isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; (b) isteri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (c) isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.”[18]
Kemudian Pasal 7
Undang-Undang Perkawinan juga ternyata telah menyebabkan terjadinya tindak
kekerasan terhadap anak perempuan. Batas usia minimal 16 tahun untuk perempuan
yang boleh melangsungkan perkawinan adalah bertentangan dengan batas usia dalam
Konvensi Internasional Tentang Hak Anak (Convention on the Right of the
Child). Dalam konvensi tersebut diatur batas usia anak sampai dengan usia
18 tahun sehingga perkawinan di bawah usia 18 tahun merupakan pelanggaran
terhadap hak anak[19].
Kemudian Pasal 31
ayat 3 UUP yang mengatur tentang peran istri dan suami yaitu suami adalah
kepala keluarga sementara istri adalah ibu rumah tangga,. Pembagian peran
tersebut jelas menghendaki posisi istri sebagai subordinat suami. Pasal
tersebut memberi kekuasaan penuh terhadap laki-laki sebagai kepala rumah
tangga, yang artinya sebagai pemegang kekuasaan tunggal dalam hal pengambilan
keputusan dalam rumah tangga.
Disamping itu bias
gender juga terdapat pada Pasal 34 Undang-undang Perkawinan yang menyatakan
bahwa suami adalah kepala keluarga sedangkan istri, ibu yang bertanggung jawab
mengenai pengurusan rumah tangga, juga merupakan sebuah bentuk domestifikasi
perempuan, segala bentuk urusan rumah tangga dibebankan pada isteri. Dalam ayat
1 pasal 34 tersebut suami hanya dibebani kewajiban melindungi isterinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya, akan tetapi tidak disebutkan batasan-batasan kemampuan suami,
sehingga hal ini dapat dengan mudah diselewengkan dengan mengatakan “memang
kemampuannya hanya segitu”. Kemudian juga tentang hak suami untuk hal-hal
tertentu dalam hal diizinkan berpoligami, serta terbatasnya hak istri untuk
mengajukan gugatan terhadap suami bila ingin bercerai di pengadilan tempat
tinggal suami, serta sejumlah peraturan lainnya.
Paparan tersebut menunjukkan
bahwa masih banyak peraturan perundang-undangan kita yang diskriminatif dan
bias gender.
Komentar
Posting Komentar