“DAMPAK SOSIAL KOMERSIALISASI PENDIDIKAN” (Kemanakah Kita langkahkan Kaki Ini)

Oleh : Yadi Jayadi
(Penulis: Mahasiswa UIN SGD Bandung, Sekretaris Umum HIMAT Cabang Bandung, Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa LENSA, Pengajar DTA Mitra Muhajirin, Reporter LAPMI Kab.Bandung, Pembina Ikatan Remaja Mesjid Komp.Griya Mitra Posindo-Bandung )

Data-data yang sampai kepada kita penduduk Indonesia lebih dari 38 juta atau 23 persen hidup di bawah garis kemiskinan membuat kita sebagai bangsa ini sangat khawatir dan prihatin, walaupun ini tidak membuat kita pesimis seraya kita tetap memberikan penghormatan dan penghargaan kepada upaya-upaya pemerintah.
Ini mengakibatkan banyak komentar, ada yang tetap dalam alur “Rasional” memberikan analisa “Kenapah dan Mengapah” ini terjadi, ada yang berpendapat “Kurang Kompaknya Team Ekonomi kita” , ada yang bilang “Korupsi Masih Merajalela” di negeri ini, ada yang berpendapat “Lemahnya Penegakan Hukum Di Negeri Ini” dan Ada yang cenderung mencari kambing hitam “Menyalahkan Masa Lalu”. Namun Realitasnya Kemiskinan Masih Merajalela dan Tetap berlangsung.
Apabila pendidikan tidak mampu lagi menjadi pemutus rantai kemiskinan, maka anak-anak akan menjadi korban yang paling nyata dari dampak sosial yang ditimbulkannya. Dalam jangka panjang, lemahnya investasi sosial di bidang pendidikan akan memperburuk  keberdayaan masyarakat dan menghambat pembangunan kualitas manusia. Mengenai bahaya yang akan ditimbulkan dari komersialisasi pendidikan terhadap masyarakat.

Tujuan Pendidikan Nasional dalam UUD 1945 (versi Amandemen) Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi di Indonesia memeberi legitimasi pada pemerintah untuk melakukan privatisasi pendidikan. Penyelnggaraan pendidikan yang pada mulannya merupakan tanggung jawab pemerintah, kemudian di serahkan kepada pihak swasta. Motif utama pihak swasta adalah mencari keuntungan. Karenannya, mereka seringkali menyulap pendidikan menjadi lahan bisnis dan investasi. Pendidikan menjadi “Barang” mewah yang sulit dijangkau masyarakat bawah. Ini ditambah peraktek-praktek segelintir oknum yang menjadikan kekuasaannya lahan untuk bertindak otoriter dan cenderung mementingkan kepentingan pribadi dan memperkaya diri sendiri, contoh kecil seperti halnya penyaluran BEASISWA yang berputar di sekitar keluarga dan sanak sodara yang terdekat dia sebagai pejabat negara. Biaya pendidikan, mulai dari tingkat Dasar sampai PT, semakin tinggi dan cenderung tidak terkendali.

 

Privatisasi pendidikan dapat dilihat dari seberapa besar anggaran pendidikan yang dialokasikan dari pengeluaran pemerintah (government expenditures). Komersialisasi dan Privatisasi pendidikan sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda. Namun, karena naluri privatisasi adalah perubahan keuntungan, maka keduanya seringkali disamakan. Ada beberapa alasan yang mendasari terjadinya komersialisasi pendidikan.

1.      Swastanisasi adalah anak kandung liberalisasi yang semakin menggelobal dan menyentuh berbagai bidang kehidupan. Merujuk pada George Ritzer, privatisasi pendidikan adalah konsekuensi logis dari menjunjung prinsip kuantifikasi, efisiensi, terprediksi, dan teknologis setiap dalam sendi kehidupan. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai public good, pemerintah secara massal untuk menjamin harga murah.

2.      Pemerintah merasa tida memiliki dana yang cukup untuk membiayai sektor pendidikan. Misalnya, karena mengalami kesulitan dana akibatnya krisis ekonomi. Keadaan ini bisa real, dalam arti memang benar pemerintah kekuarangan dana. Namun, bisa juga palsu. Artinya pemerintah bukan tidak mampu, melainkan tidak mau atau tidak memiliki visi untuk berinvestasi di bidang pendidikan. Dan mungkin pemerintah lebih suka membelanjakan anggrana dengan hal yang lain.

3.      Pemerintah tidak mampu mengelola pendidikan sebagai sektor publik dengan baik. Akibatnya lembaga pendidikan menjadi tidak efisien (mahal dan tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan), tidak kompetitif (tidak termotivasi untuk bersaing meningkatkan mutu), dan tidak berkembang (mandeg). Karena swastanisasi merupakan cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

4.      Lembaga pendidikan kurang memiliki kreativitas dan inovasi dalam melakukan “Fund Raising”, Sehingga hanya mengandalkan siswa dan orang tuanya sebagai target utama perolehan dana.

 

Secara teoritis, privatisasi pendidikan sesungguhnya tidak selalu bersifat negatif. Berbeda dampak positif yang dapat kita ambil, Pertama beban pemerintah dalam membiayai pendidikan semakin berkurang. Sehingga anggaran yang tersedia bisa digunakan untuk membiayai aspek lain yang dianggap lebih mendesak. Misalnya, untuk membiayai “Pendidikan Alternatif”. Semisal pendidikan non-formal untuk kalangan miskin, anak jalanan atau suku terasingkan, Kedua memeberi peluang lebih besar kepada seluruh masyarakat untuk turut berpartisipasi mencerdaskan bangsa, Ketiga lembaga pendidikan menjadi semakin kompetitif. Dapat berdampak pada peningkatan fasilitas dan mutu pendidikan, Keempat gaji penggiat pendidikan (Dosen dan Guru) dapat lebih ditingkatkan kesejahtraannya yang baik diharapkan dapat memacu kepuasan kerja dan kinerja mereka dalam mencerahkan anak didiknya.

            Lemahnya perangkat kebijakan dan penegakan hukum dapat mendistorsi swastanisasi pendidikan yang seblumnya bertujuan mulia. Privatisasi pendidikan juga dapat membawa dampak sosial yang diharapkan jika tidak disertai aturan main yang jelas dan etika sosial yang benar.

Pendidikan menjadi mahal. Pendidikan menjadi “barang mewah” yang sulit dijangkau oleh masyarakat luas, khsusnya warga kurang mampu. Hal ini dapat meningkatkan angka putus sekolah pada masyarakat miskin yang pada gilirannya berdampak pada peningkatan pengangguran, anak jalanan, pekerja anak, dan kriminalisasi.

            Gap dan kualitas pendidikan. Privatisasi pendidikan dapat meningkatkan kompetisi. Sisi lain dari kompetisi adalah menciptakan polarisasi lembaga pendidikan. Lembaga yang menang dalam persaingan dan perburuan dana akan menjadi sekolah uanggulan. Dan sebaliknya lembaga yang kalah dalam persaingan.

            Diskriminasi. Kesempatan memproleh pendidikan semakin sempit dan diskriminatif. Orang kaya dapat memproleh pendidikan relatif mudah. Sedangkan orang miskin akan semakin sulit, Stigmatisasi. Terjadi segregasi kelas sosial antara orang kaya dan miskin konsekuensinya terjadi pelebelan sosial yang lebih parah berdampak kepada sikologis anak (kurang mampu) si anak akan merasa minder karena tidak mampu mengikuti irama dan suasana glamour sekolah.

            Perubahan misi pendidikan. Pada mulanaya pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan dan memberdayakan masayarakat. Komersialisasi pendidikan akan menggeser “ budaya akademik” menjadi “ budaya ekonomis”. Para guru akan memiliki mentalitas “ pedagang” ketimbang mentalitas pendidik. Mereka lebih tertarik mencari pendapatan dari pada mengembangkan pengetahuan.

            Gaya Hidup. “besar pasak daripada tiang” banyak anak-anak sekolah gedongan yang membawa mobil mahal (milik orang tuannya) ke sekolah. Guru dan Dosen dapat terobsesi oleh gaya hidup mewah. Ini akan melahirkan mental “dikator” pada pengajar, yaitu “menjaual diktat untuk beli motor”.

            Rantai kemiskinan semakin mustahil diputuskan oleh pendidikan. Secara sederhana, rantai kemiskinan dapat digambarkan “ Karean Miskin orang tidak sekolah, karena tidak sekolah, ia tidak dapat Pekerjaan. Karena tidak dapat pekerjaan, ia menjadi miskin dan begitu seterusnnya. Pendidikan sebagai pemberdayaan yang dapat memutus rantai kemiskinan semakin kehilangan fungsinya. Kemanakah Kita Harus Melangkah.

 

                                                                        Bandung Senin 07 November 2016


                                                                        Penulis Sunyi : Yadi Jayadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”