Pemerintah Tidak Usah Lagi Memikirkan Pencitraan
Menarik
mencermati realitas politik dan sosial di negeri saat ini. 73 tahun bangsa ini merdeka dengan berjuta cerita tentunya.
Terlebih, akhir-akhir ini 2016 sampai 2018 tepatnya tahun ini. Diakui oleh penulis dan
beberapa pemerhati bangsa ini mengalami rusaknya mental, meskipun ada
kalangan yang dalam kondisi
euphoria atas hebatnya
Pemerintah / Rezim ini yang telah diraih. Kondisi
ini bisa kita cermati dari banyaknya isu yang memicu kebingungan pada masyarakat digagas oleh Rezim ini yang masih terkesan
“centil” dan kurang fokus. Dan lebih banyak Pencitraan yang akhirnya menjadi
bombrang buat pemerintah (Rezim) ini.
Bagi
penulis, tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan gegap gempita pencapaian Rezim
ini, terutama
pembangunan infrastruktur di negeri
saat ini selain kata Citra.
Ya pencitraan sebagai analogi centilnya seorang gadis untuk
menarik perhatian bahkan mendapatkan cintanya seorang pemuda. Apapun dilakukan
yang penting menjadi sumber perhatian, tak peduli orang-orang disekitar nyinyir
atas kecentilan yang terkadang lepas kontrol, dan bahkan berpotensi
menjadi “pembenaran”
bagi si gadis tersebut. Pun demikian dengan Rezim saat ini, kebahagiaan berlebih atas
kekuasaan Rezim ini
yang tidak dimaknai sebagai amanah dan tanggungjawab terhadap bangsa, akan berpotensi menjadi semena-menanya atau mungkin Balutan
Pencitraan
atas kekuasaan yang diraih.
Kontroversi atau bahkan hanya citra seorang penguasa akan dapat kita lihat dari konsep-konsep,
kebijakan-kebijakan, sampai
pembangunan, menjadi program kerja yang didanai seutuhnya dari darah dan
keringat rakyat dalam bentuk APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah).
Konsep pembangunan, baik suprastruktur ataupun infrastruktur akan berjalan dengan
mulus, terarah, dan terukur manakala tim perumus benar-benar memahamai inti
permasalahan dari agenda pembangunan itu sendiri. Yang paling penting
pembangunan harus selalu berorientasi kepada pemberdayaan, pemerataan
kesempatan, serta terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Sekali lagi, rakyat
yang menjadi subjek sekaligus objek pembangunan, bukan penguasa dengan
segelintir kelompoknya. Pembangunan, sejatinya harus dimaknai sebagai perubahan
ke arah yang lebih baik, konstruktif dan solutif, tidak malah sebaliknya,
pembangunan malah menjadi polemik dan masalah baru bagi rakyat banyak karena
konsep yang masih premature dan tidak
berangkat dari kajian akademis serta aspirasi rakyat.
Dalam hal
filsafat kenegaraan, menurut pandangan Al-Farabi membedakan
negara menjadi lima macam.
Pertama, Negara utama, yaitu negara
yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Menurutnya, negara terbaik adalah
negara yang dipimpin oleh Rasul, kemudian oleh para filsuf.
Kedua, Negara orang-orang bodoh,
yaitu negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
Ketiga, Negara orang-orang fasik,
yakni negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan, dan akal (fa’al
al-madinah al-fadilah), tetapi tingkah kemudian mengalami kerusakan.
Keempat, Negara yang berubah-ubah,
ialah negara yang penduduknya pada awalnya, mempunyai pikiran dan pendapat
seperti yang dimiliki negara utama,
tetapi kemudian mengalami kerusakan. Dan Kelima, Negara sesat,
yaitu negara yang penduduknya mempunyai konsepsi pemikiran yang salah tentang
Tuhan dan akal, tetapi kepala negaranya beranggapan bahwa dirinya
mendapat wahyu, kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.
Rekonsiliasi
menjadi kata kunci pembangunan di Negeri
ini, karena secara konstitusional Kepala Negara telah ditetapkan Namun, tidak dapat dinafikan, maraknya
perubahan begitu signifikan saat
ini (Melemahnya Rupiah, Naiknya Harga Bahan Poko, Naiknya
BMM, dan banyak lagi),
memunculkan beragam pertanyaan sekaligus permasalahan baru, hal ini dapat
terjadi karena Pemerintah masih menikmati
dalam pencitraan dalam menghadapi tahun
politik dalam kurun waktu 2018-2019 ataupun politik pencitraan.
Praktek politik pencitraan dalam ruang kekuasaan adalah sesuatu yang biasa bagi
seorang pemimpin di awal-awal karier kepemimpinannya, namun akan menjadi
sesuatu yang tidak biasa manakala politik pencitraan ini tidak berbasis kinerja
yang mampu menghasilkan karya yang pro rakyat.
Tahap
awal dari pencitraan
politik elit pemerintah
dapat kita lihat dari penampilan fisik yang “Berani Tampil Beda”, Pencitraan Elit poilitik, dalam wacana
demokrasi dan kekuasaan sebagai sesuatu yang biasa saja sebenarnya, karena
setiap orang berhak memunculkan kesan positif kepada siapapun, namun akan
menjadi sangat tidak wajar ketika praktek pencitraan eliti politik ini terus berkelanjutan dan menafikan hal-hal
yang bersifat esensial dan urgent dalam pembangunan. Jabatan, tidak
sekedar jabatan politik, yang selalu saja berorientasi kepada
kepentingan-kepentingan politik sesaat, lebih dari itu, sosok seorang Elit Politik atau
Pemerintah
adalah sosok manager dan negarawan yang harus mau dan mampu menyelami
kegelisahan, aspirasi sampai setiap hela nafas dan detak jantung rakyat yang
dipimpinnya.
Pemerintah
bukanlah citra
politik yang terus terekstasi oleh jabatan dan kekuasaannya, serta pesta-pesta
kemenangan yang memabukan dan mematikan humanism
sencitivity (kepekaan pada nilai
kemanusiaan) sebagai seorang pemimpin.
Segera putar haluan dan hentikan politik pencitraan, karena bahtera pembangunan
tidak akan pernah mau menunggu. Satu tahun kepemimpinan merupakan waktu
rekonsiliasi dan konsolidasi politik. Berikutnya, fokus pada program kerja
sebagaimana yang pernah dijanjikan kepada konstituen politik. Mulailah berpikir
rasional, terarah dan terukur, adalah langkah tepat untuk berdamai dengan
realitas Bangsa
saat ini yang mebutuhkan sentuhan kreatif dari Pemerintah. Libatkan seluruh steakholder dan elemen masyarakat
lainnya. Duduk bersama guna merumuskan kembali
konsep pembangunan Bangsa
yang lebih beradab dan lebih manusiawi. Karena Indonesia kita beragam kebudayaan dan pemahaman yang harus terus mewangi
sampai sendi-sendi kehidupan.
Bagi penulis, “Pemerintah Haruslah Dewasa” dalam berpikir dan merumuskan
bangsa ini kedepan. Dan kita tidak mengelak juga dengan kesederhanaan sang
pemerintah hari ini menjadi keunikan dan ke-khasan bagi bangsa ini, kritik atau
pun pujian sesungguhnya keduanya memiliki kebenaran. Namun bagi Pemerintah yang
baik kritik adalah sebuah kontrol apabila Pemerintah ada kekeliruan dalam
menetapkan kebijakannya. Atau pun sebaliknya pujian adalah bentuk rasa bangga
atas capaian rezim ini, meskipun harus ada evaluasi dalam setiap apa kebijakan yang
di keluarkan pemerintah.
Sesungguhnya, apabila Pemerintah mau berpikir secara jernih, Pemerintah
Tidak usah lagi memikirkan PENCITRAAN untuk menarik simpati Rakyat, Tapi
Lakukanlah Kebijakan Yang menguntungkan Rakyat banyak. Karena Pemerintah setiap
detik dan setiap langkahnya akan dikonsumsi rakyatnya “PEMERINTAH ADALAH CITRA
BANGSA INI” jadi Citra itu melekat padanya. Apabila sesuai Tugas dan Fungsinya
Sebagai Pemerintah maka akan menghasilkan kebijakan yang pro-rakyat, meski Pro
dan Kontra Itu pasti akan ada tidak dipisahkan dari salah satunya.
Bandung, 25 Juli 2018
Penulis Sunyi
Komentar
Posting Komentar