Manusia Hidup Sumbernya Adalah Cinta


Mengihtisarkan gagasan Iqbal tentang ‘isyq (selanjutnya ditulis cinta, untuk lebih meningkatkan level komunikasi kepada pembaca)ke dalam sebuah unit idea bukan lah merupakan pekerjaan mudah karena ide tentang cinta terserak di berbagai karyanya baik yang bersifat puisi maupun prosa, di samping selalu terkait dengan aspek gagasan lain. Dalam mengekplorasi gagasan ‘cinta’ versi Iqbal tentu ditempuh dengan cara mengaitkan aspek lain tersebut sejauh relefan dengan tujuan mempertajam pengertian hakiki dari idea ‘cinta’ itu sendiri.
Cinta adalah bagian dari fitrah, orang yang kehilangan cinta dia tidak normal tetapi banyak juga orang yang menderita karena cinta. Bersyukurlah orang-orang yang diberi cinta dan bisa menyikapi rasa cinta dengan tepat.
Cinta memang sudah ada didalam diri kita, diantaranya terhadap lawan jenis. Tapi kalau tidak hati-hati cinta bisa menulikan dan membutakan kita. Cinta yang paling tinggi adalah cinta karena Allah cirinya adalah orang yang tidak memaksakan kehendaknya. Tapi ada juga cinta yang menjadi cobaan buat kita yaitu cinta yang lebih cenderung kepada maksiat. Cinta yang semakin bergelora hawa nafsu, makin berkurang rasa malu. Dan, inilah yang paling berbahaya dari cinta yang tidak terkendali.
Umumnya, pola keberagamaan sufi yang bertumpu pada penghayatan ‘cinta’ diasosiasikan pada Rābi’ah al-‘Adawiyah (713- 801H), seorang sufi wanita dari Basrah di Irak, tetapi sebenarnya  berakar pada Ma'rūf bin Faizan Abū Maḥfūẓ al-Ibid bin Firus al-Karkhī.Baginya, menyembah Tuhan bukan mengharap surga, tidak pula karena takut kepada neraka, demikian pula pendirian  Rābi’ah al- ‘Adawiyah. Belakangan, beberapa tokoh seperti al-Junaid, Muhammad Ali al-katani, Abu Abdillah an-Najabi, dan Ibnu Abdush Shamad berada di barisan sufi maḥabbah atau cinta. Penghayatan cinta ilahi seperti itu, tentu tidak memperoleh dasar dari al-Quran maupun al-Sunnah.
Kitab Suci ini menjelaskan dalam beratus-ratus ayat tentang neraka yang secara keseluruhan menggambarkan kesengsaraan orang yang menentang Tuhan, umpama dengan ungkapan ‘ażābun ‘alīm (siksa yang amat pedih), ‘aẓābun syadīd (siksa yang amat pedih), syadīd al-‘iqāb (kerasnya siksaan), bi’ṡ al- maṣīr (sejelek-jelek tempat kembali), layaẓūqūna fīhā bardan walā syarabā (di neraka merasakan dingin dan tidak memperoleh minuman), illā ḥamīman wa ghassāqā (dalam neraka terdapat air mendidih bercampur nanah, QS. al-Nabā’ [78]:25). Nah, apakah orang yang tidak takut neraka dengan ungkapan yang sangat mengerikan itu tidak dapat dikatakan sombong?  
Dalam hadis Nabi disebutkan bahwa, ibadah sekuat apapun tidak bisa dibanggakan sebagai tiket untuk masuk surga. Tiket surga hanya satu, rahmat Allah termasuk pribadi Nabi sendiri. Demikian sabda beliau:
Tidak dimasukkan salah seorang diantara kamu karena amal ke surga dan tidak juga diselamatkan dari neraka, begitu juga aku, kecuali karena rahmat (HR. Muslim).
Hanya perlu diingat, bahwa yang berpeluang memperoleh rahmat Allah tentunya yang taat kepada-Nya. Sabda beliau ini dapat dipahami bahwa beliau juga mengharapkan surga. Dalam kesempatan lain terkait dengan peristiwa azan, beliau bersabda demikian:
Dari ‘Abd Allāh, ‘Amr bin ‘Aṣ ra, bahwa ia mendengar dari Rasulullah saw bersabda: apabila kamu mendengar undangan (azan), maka jawablah seperti ia mengatakannya, kemudian ber- shalawatlah untukku. Sesungguhnya, barang siapa bershalawat untukku  satu kali, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali, lalu berdoalah kepada Allah untukku wasilah. Sesungguhnya, wasilah itu adalah suatu kedudukan di surga yang tidak pantas kecuali bagi hamba diantara hamba-hamba Allah. Aku berharap hamba itu adalah aku. Barang siapa yang memohon kepada Allah untukku wasilah, halal baginya syafaat (HR. Muslim).
Rasululah sebagai panutan seluruh umat Islam berharap ia kelak masuk surga dengan kedudukan wasilah (manzilatun fī al- jannah), apatah artinya sufi penghayat cinta tidak takut neraka dan tidak berharap surga? Maka dengan penuh kesadaran, penulis harus menyatakan bahwa mereka itu kurang benar jika diukur dari syariat dan harapan pribadi Rasulullah sendiri. Kekeliruan konseptual penghayatan cinta ilahiyah seperti mereka praktikkan dalam pola keberagamaan itu perlu diluruskan kembali sebagaimana diajukan oleh Iqbal tentang konsep cinta (‘isyq) sebagai hasil kristalisasinya meneladani Rasulullah. 
Konsep Iqbal tentang cinta merupakan antitesisme dari doktrin maqamat  sufisme. Baginya, cinta diperoleh sebagai bawaan dengan argument bahwa seluruh makhluk tercipta atas dasar cinta, bukan perolehan dengan tindak menempuh hidup ‘memiskinkan’ diri seraya menutup potensi akal sebagaimana doktrin dan praktik hidup kaum darwisi melalui rute zuhud material. Bagi sufisme, cinta diperoleh ketika kesadaran diri fana’ lebur dalam cahaya ilahi.
Tetapi,ending-nya amat paradoks, justru menampilkan tipologi hidup dalam keberagamaan melankholis. Perlawanannya terhadapcinta sufisme sedemikian gigih itu dilakukan karena melemahkan hakikat martabat yang sebenarnya telah diberikan oleh Allah  begitu terhormat sebagai wakil-Nya di bumi ini. Tidak pelak lagi doktrin cinta Iqbal ditujukan untuk mengembalikan martabat manusia menuju tipologi ‘the Perfect Man’, laksana Ibrahim, Musa, Sulaiman, Dawud, dan Muhammad. Mereka ini pantas menyandang gelar khalifah Allāh fī al-arḍ.Di dalam pribadi mereka berpadu antara cinta dan akal intelek, antara tindak shalat dan kerja ilmuwan, dan antara mistisisme dan saintisme.
Dengan semangat cinta mampu menghalangi apapun dalam rangka meraih tujuan setinggi-tingginya hingga derajat kemanusiaan yang dapat dicapai manusia, yaitu ‘manusia tuhan’. Demikian Iqbal menulis:  Cinta tidak takut kepada pedang dan belati Cinta tidak berasal dari air dan bumi Cinta menjadikan damai dan perang di dunia. Sumber hidup ialah kemlau pedan cinta Tebing yang paling keras gemetar oleh tinjauan cinta, Cinta ilahi akhirnya mewujudkan Tuhan  Maksud mewujudkan Tuhan bukan dirinya mengaku sebagai Tuhan laksana Fir’aun (QS. al-Nāzi’at [79]:24), melainkanistilah kaum sufi, makrifatullah karena Iqbal mengacu kepada apa yang diperagakan dalam tradisi hidup oleh Nabi Nuh dan Nabi Ayub yang ia identifikasi sebagai insān kāmil dalam kualitas pribadi, selanjutnya menjadi penerang dunia semesta.
Iqbal menyatakan bahwa, cinta asal kehidupan dan haram baginya kematian, cinta menyingkirkan banjir datang melandai, sebab cinta adalah air pasang mengalun, tundukkan topan dan badai. Kutipan di atas mengandung pesan bahwa sekali manusia hidup sumbernya adalah cinta. Jika dihubungkan dengan konsep penciptaan alam semesta, dasar Allah mencaipta adalah cinta. Tertib ayat kesatu, kedua, dan ketiga dalam surat al-Fatihah terlihat jelas bahwa Allah sebagai Rabb al-‘Ālamīn (pencipta, pemelihara, pendidik, pengasuh, pengajar, dan pengatur alam semesta di atas pondasi maupun diliputi al-Raḥmān al-Raḥīm  (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).
Dalam hadis lebih eksplisit, sebagai bayān taqrīrī atau bayān ta’kidī, akan Raḥmān Raḥīm sebagai dasar penciptaan. Demikian hadis yang dimaksud: Rasulullah saw bersabda: Ketika Allah menentukan penciptaan, Ia tulis di dalam kitab-Nya. Kitab itu ada di sisi-Nya di atas ‘Arsy. Sesungguhnya Kasih sayang-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku (HR. al-Bukhari dari Abi Hurairah). Dalam kesempatan lain, Iqbal bersenandung: 
Tuhan mengajarkan Al-Quran kepada insan
dari tangan kami Allah melimpahkan Rahman dan Rahimnya.
                                                Bandung, 30 Sep 2017 (Penulis Sunyi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”