Linguistic Itu, Merupakan Wadah Pelahiran Karya Sastra


Bahasa merupakan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan, dengan bahasa kita dapat berkomunikasi dan saling bertukar pikiran dengan sesama. Bahasa merupakan alat yang digunakan manusia, maka bahasa memiliki ilmunya tersendiri. Ilmu tentang bahasa disebut linguistik.
Sebagai ilmu, linguistik memiliki para tokohnya sendiri yang memberikan banyak pendapat tentang seluk beluk bahasa. Begitu pula linguistik memiliki objek kajiannya tersendiri. Linguistik adalah satu-satunya yang menempatkan bahasa sebagai bahasa itu sendiri. Ternyata dalam dunia keilmuwan, tidak hanya linguistik yang menjadi bahasa sebagai objek kajiannya. Ada pula disiplin ilmu lain yang menggunakan bahasa sebagai objek kajiannya seperti ilmu sastra , ilmu sosial, psikologi dan fisika.
Membicarakan Bahasa, ia merupakan satu-satunya alat komunikasi terbaik yang hanya dimiliki manusia. Maka orang yang profesinya berkenaan dengan bahasa perlu mempelajari dan memiliki pengetahuan tentang linguistik, karena linguistik akan memberi pemahaman kepada kita mengenai hakikat dan seluk beluk bahasa itu sendiri.
Adapun menurut Dr. Ramadhan ‘Abduttawab dalam bukunya yang berjudul “al-Madkhol ila ‘ilillughah”, “bahasa merupakan ilmu yang membahas tentang bahasa dan mengambil darinya tema judul untuk dipelajari dari segi deskriptif, histori dan perbandingannya.”
Jadi Secara umum linguistik lazim diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Pakar Linguistik disebut linguis. Namun, perlu dicatat dalam bahasa Inggris juga berarti “orang yang mahir menggunakan beberapa bahasa, selain bermakna “pakar linguistik” seorang linguis mempelajari bahasa bukan dengan tujuan utama untuk mahir menggunakan bahasa itu, melainkan untuk mengetahui secara mendalam mengenai kaidah-kaidah struktur bahasa, beserta dengan berbagai aspek dan segi yang menyangkut bahasa itu.
Andai kata linguis ingin memahirkan penggunaan bahasa itu tentu juga tidak ada salahnya. Bahkan akan menjadi lebih baik. Sebaliknya seseorang yang mahir dan lancer dalam menggunakan beberapa bahasa belum tentu ia seorang linguis kalau dia tidak mendalami teori tentang bahasa. Orang seperti ini, lebih tepat disebut seorang polyglot “berbahasa banyak”, sebagai dikotomi dari monoglot “berbahasa satu”.
Pertama, menurut kajiannya, linguistik dapat dibagi atas dua cabang besar, yaitu linguistik mikro, dan linguistik makro. Objek kajian mikro linguistic adalah struktur internal bahasa itu sendiri. Yaitu sistem bunyinya, sistem pembentukan kata, sistem susunan kalimat dan sebagainya. Sedangkan objek kajian makro linguistic adalah hal-hal yang berkenaan dengan bahasa dalam hubungannya dengan faktor yang terdapat di luar bahasa itu, seperti faktor sosiologis, psikologis, dan antropologi serta neurologi.
Kedua, menurut tujuan kajiannya, linguistik dapat dibedakan atas dua bidang besar yaitu linguistic teoretis dan linguistic terapan. Kajian teoretis hanya ditujukan untuk mencari dan menemukan teori-teori linguistic belaka. Hanya untuk membuat kaidah-kaidah linguistic secara deskriptif. Sedangkan kajian terapan ditujukan untuk menerapkan kaidah-kaidah linguistic dalam kegiatan praktis, seperti dalam pengajaran bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus dan sebagainya.
Ketiga, adanya yang disebut linguistic sejarah dan sejarah linguistic. Yang pertama linguistic sejarah, mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa atau sejumlah bahasa, baik dengan diperbandingkan maupun tidak. Yang kedua sejarah linguistic, mengkaji perkembangan ilmu linguistic, bak mengenai tokoh-tokohnya, aliran-aliran teorinya, maupun hasil-hasil kerjanya.
Dalam pendidikan formal di sekolah menengah, kalau ditanyakan apakah bahasa itu, biasanya akan dijawab, “bahasa adalat komunikasi”. Jawaban ini tidak salah, tetapi juga tidak benar, sebab jawaban itu hanya menyatakan “bahasa adalah alat”. Jadi fungsi dari bahasa itu yang dijelaskan, bukan “sosok” bahasa itu sendiri. Memang benar fungsi bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia, tetapi pernyataan yang diajukan diatas bukan ”Apakah fungsi bahasa”?, melainkan “Apakah bahasa itu”?. Maka jawabannya harus berkenaan dengan “sosok” bukan bahasa itu. Bukan tentang fungsinya. Jawaban bahwa “bahasa adalah alat komunikasi” untuk pertanyaan “Apakah bahasa itu? Memang wajar terjadi karena bahasa itu adalah fenomena sosial yang banyak seginya.
Sedangkan segi fungsinya tampaknya merupakan segi yang menonjol diantara segi-segi lainnya. Karena itu tidak mengherankan banyak juga pakar yang membuat definisi tentang bahasa dengan pertama-tama menonjolkan segi fungsinya itu, seperti Sapir, Badudu dan Keraf. Jawaban terhadap pertanyaan “apakah bahasa itu? Tidak menonjolkan fungsi, tetapi menonjolkan “sosok” bahasa itu adalah seperti yang dikemukakan Kridalaksana dan juga dalam Djoko Kentjono : “Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri”.
Masalah lain yang berkenaan dengan bahasa, bilamana sebuah tuturan disebut bahasa, yang berbeda dengan bahasa lainnya, dan bilamana hanya dianggap sebagai varian dari suatu bahasa. Dua buah tuturan bisa disebut sebagai dua bahasa yang berbeda berdasarkan dua buah patokan, yaitu patokan linguistic dan patokan politis. Secara linguistic dua buah tuturan dianggap dua buah bahasa yang berbeda, kalau anggota-anggota dari dua masyarakat tuturan itu tidak saling mengerti. 
Misalnya seorang penduduk asli dari lereng gunung tengah slamet jawa tidak akan mengerti tuturan penduduk asli yang datang dari lereng gunung Galunggung sangat berbeda. Baik kosakatanya maupun sistem fonologinya. Sebaliknya kalau penduduk dari lereng gunung slamet tadi berjumpa dengan seorang penduduk dari tepi bengawan solo, baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, dia akan dengan mudah berkomunikasinya. Mengapa? Karena perbedaan yang terdapat di antara bahasa di lereng gunung slamet dan tepi Bengawan solo itu hanya bersifat dialiktis saja.
Bagaimana dengan bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia yang keduanya berasal dari bahasa yang sama, yaitu bahasa melayu. Dan juga jelas penutur bahasa Indonesia akan dengan mudah memahami bahasa Indonesia. Nah, apakah bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia merupakan dua buah bahasa yang berbeda, atau hanya dua dialek dari bahasa yang sama, yaitu bahasa melayu. Tetapi secara politis, dewasa ini bahasa Indonesia adalah bahasa nasional bangsa Indonesia dan bahasa Malaysia adalah bahasa national bangsa Malaysia.
Oleh karena itu, meskipun bahasa itu tidak pernah lepas dari manusia, dalam arti tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai bahasa, tetapi karena “rumitnya” menentukan suatu bentuk bahasa atau bukan, hanya dialek saja dari bahasa yang lain, maka hingga kini belum pernah ada angka yang pasti berapa jumlah bahasa yang ada di dunia ini. Begitu juga dengan jumlah bahasa yang ada di Indonesia. Jadi, secara garis besar yang menjadi objek kajian linguistic adalah:
Pertama, Kajian terhadap struktur internal bahasa, mencakup kajian mengenai tata bunyi bahasa (dalam fonologi), tata bentuk kata (dalam morfologi), tata bentuk kalimat (dalam sintaksis), dan tata bentuk wacana (dalam wacana). Di samping itu, termasuk juga kajian mengenai makna bahasa (dalam semantic), kosakata (dalam leksikologi) dan perbandingan bentuk (dalam historis komparatif) .
Kedua, Kajian terhadap pemakaian bahasa mencakup kajian sosiolinguistik (pemakaian bahasa sebagai alat interaksi sosial), kajian psikolinguistik (bahasa sebagai gejala psikologi), kajian neurolinguistik (bahasa dalam kaitannya dengan otak) kajian antropolinguistik (bahasa sebagai wadah dan produk budaya), dan kajian etnolinguistik ( bahasa dalam kaitannya dengan etnis). Dengan catatan dalam bidan sosiolinguistik.
Ketiga, Kajian terhadap pengajaran bahasa. Inti tujuan kajian terhadap pengajaran bahasa adalah mencari solusi untuk meningkatkan hasil pengajaran bahasa. Maka kajian dalam bidang ini mencakup kajian eksperimental yang mencoba metode atau teknik pembelajaran mengkaji variabel yang mempengaruhi hasil pengajaran bahasa, mengkaji korelasi antara dua variabel dalam pengajaran bahasa, atau mengkaji butir-butir materi dalam pengajaran bahasa.
Penulis berkesimpulan bahwasannya Setiap ilmu berapapun teoritisnya tentu mempunyai manfaat praktis bagi kehidupan manusia. Begitupun dengan linguistik yang akan memberikan manfaat langsung bagi mereka yang berkecimpung dalam kegiatan yang berhubungan dengan bahasa, seperti linguis itu sendiri, guru bahasa, penerjemah, penyusun buku pelajaran, penyusun kamus, petugas penerangan, para jurnalis, politikus, diplomat, dan sebagainya.
Bagi penulis  linguis merupakan pengetahuan yang luas mengenai linguistik tentu akan sangat membantu dalam menyelesaikan dan melaksanakan tugasnya. bagi peneliti, kritikus, dan peminat sastra linguistic akan membantunya dalam memahami karya-karya sastra dengan lebih baik, sebab bahasa, yang menjadi objek penelitian linguistic itu, merupakan wadah pelahiran karya sastra. Tidak mungkin kita dapat memahami karya sastra dengan baik tanpa mempunyai pengetahuan mengenai hakikat dan struktur bahasa yang lebih baik. Apalagi kalau diingat bahwa karya sastra menggunakan ragam bahasa khusus yag tidak sama dengan bahasa umum.
Bagi seorang guru, terutama guru bahasa, pengetahuan linguistik sangat penting, mulai dari sub disiplin, fonologi, morfologi, sintaksis, semantic, leksikologi, sampai dengan pengetahuan mengenai hubungan bahasa dengan kemasyarakatan dan kebudayaan.
Untuk penerjemah, pengetahuan linguistik mutlak diperlukan bukan hanya berkenaan dengan morfologi, sintaksis, semantic saja, tapi juga berkenaan dengan sosiolinguistik dan kontrasif linguistic. Seorang penerjemah bahasa inggris-indonesia harus bisa memilih terjemahan, misalnya, my brother itu menjadi “kakak saya”, ‘adik saya”, atau cukup “saudara saya” saja.
Bagi penyusun kamus, atau leksikografer menguasai semua aspek linguistik mutlak diperlukan, sebab semua pengetahuan linguistic akan memberi manfaat dalam menyelesaikan tugasnya. Untuk bisa menyusu kamus, dia harus mulai dengan menentukan fonem-fonem bahasa yang dikamuskannya, mentukan ejaan atau grafem fonem-fonem tersebut, memahami seluk beluk bentuk dan pembentukan kata, struktur frase, struktur kalimat, makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual, dan makna idiomatical, serta latar belakang sosial bahasa tersebut. Tanpa pengetahuan, semua aspek linguistik, kiranya tidak mungkin sebuah kamus dapat disusun.
Penulis beranggapan pada dasarnya Pengetahuan linguistik juga memberi manfaat bagi penyusun buku pelajaran atau buku teks dalam menyusun kalimat yang tepat, memilih kosa kata yang sesuai dengan jenjang usia pembaca buku tersebut. Ternyata buku yang diperuntukan untuk anak sekolah dasar harus berbeda bahasanya dengan yang diperuntukan untuk anak sekolah lanjutan atau untuk perguruan tinggi, maupun untuk masyarakat umum.

Bandung, 02 Juni 2017
Penulis Sunyi

Ref :
Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Nabban, P.W.J. 1993. Sosiolingusitik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Mar’at Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik. Bandung: Refika Aditama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”