Islam Modernis sampai Islam Tradisionalis
Pengaruh
Modernisasi Islam Terhadap Indonesia. Gerakan pembaharuan yang berkembang di
berbagai tempat khususnya dikawasan Timur Tengah telah memberikan pengaruh
besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Ide gerakan pembaharuan
tersebut masuk ke Indonesia melalui berbagai saluran, antaranya lewat kontak
para intelektual muslim Indonesia dengan intelektual muslim Timur Tengah, dan
kontak jemaah haji Indonesia dengan jemaah luar .
Bermula
dari pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau, yang disusul
oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia
yang ditandai dengan berdirinya organisasi Jami’atul Khair (1905), organisasi
ini pada dasarnya terbuka untuk semua golongan muslim, namun mayoritas
anggotanya adalah orang-orang Arab .
Kebangkitan
Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan,
seperti Sarekat Dagang Islam (SDI)di Bogor (1909) dan Solo (1911),
Persyarikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta
(1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nahdatul Ulama (NU) di
Surabaya (1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti) di Candung,
Bukittinggi (1930), dan Partai-partai Politik, seperti Sarekat Islam (SI) yang
merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang
Panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari organisasi
pendidikan Thawalib dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938 .
Ormas-Ormas Islam yang Berhaluan
Modernis :
Muhammadiyah
Sejak tahun
1905 K.H. Ahmad Dahlan telah banyak melakukan dakwah dan pengajian-pengajian
yang berisi paham baru dalam Islam dan menitikberatkan pada segi alamiyah.
Baginya, Islam adalah agama amal, suatu agama yang mendorong umatnya untuk
banyak melakukan kerja dan berbuat sesuatu yang bermanfaat. Dengan bekal pendalaman
beliau terhadap Al-Qura’an dan sunah nabi, sampai pada pendirian dan
tindakannya banyak bersifat pengalaman Islam dalam kehidupan nyata.
Dari kajian-kajian K.H. Ahmad Dahlan akhirnya timbul pertanyaan kenapa
banyak gerakan-gerakan islam yang tidak berhasil dalam usahanya. Hal ini tidak
lain di sebabkan banyak orang yang bergerak dan berjuang tetapi tidak berilmu
luas serta sebaliknya banyak orang yang berilmu akan tetapi tidak mau
mengamalkan ilmunya.
Atas dasar keyakinannya itulah, K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1991
mendirikan sekolah Muhammadiyah yang menempati sebuah ruangan dengan meja dan
papan tulis. Dalam sekolah tersebut, di masukkan pula beberapa pelajaran yang
lazim di ajarkan di sekolah-sekolah model Barat, seperti ilmu bumi, ilmu alam,
ilmu hayat dan sebagainya. Begitu pula diperkenalkan cara-cara baru dalam
pengajaran ilmu-ilmu keagamaan sehingga lebih menarik dan mudah dipahami.
Al – Irsyad
Dalam
jami’at khair, timbul suatu perbedaan pendapat yang cukup tajam, terutama
persoalan kafa’ah yaitu sah tidaknya golongan Arab keturunan Sayid (keluarga
nabi) menikah dengan golongan lainnya. Dalam hal ini Syeh Sukarti berpendapat
boleh dan tetap seimbang. Selain itu, terdapat banyak bukti bahwa para sahabat
menikah satu sama lain tanpa memandang keturunan Sayyid atau tidaknya. Ternyata
pendapat ini menimbulkan ketidaksenangan golongan Arab seketurunan dengan
Syaidina Ali, keluarga Nabi dan berakhir dengan perpecahan. Kemudian Syekh
Ahmad Sukati pada tahun 1914 mendirikan perkumpulan Al Ishlah Wal Irsyad.
Maksudnya ialah memajukan pelajaran agama Islam yang murni di kalangan bangsa
Arab di Indonesia. Sebagai amaliyahnya berdirilah beberapa perguruan Al-Irsyad
di mana-mana, di antaranya pada tahun 1915 di Jakarta. Selain itu, banyak
bergerak dalam bidang sosial dan dakwah Islam dengan dasar Al-Qur’an dan sunnah
rasul secara murni.
Persatuan Islam (Persis)
Persatuan Islam (Persis) didirikan
di Bandung pada 17 September 1923 oleh K.H. Zamzam, seorang ulama berasal dari
Palembang. Persis bertujuan mengembalikan kaum muslimin kepada pimpinan AL-Qur’an
dan sunnah Nabi dengan jalan mendirikan madrasah-madrasah, pesantren dan
tabliqh pidato ataupun tulisan. Selain itu, menerbitkan pula majalah yang cukup
menonjol pada zamannya, yaitu Pembela
Islam dan majalah Al Muslimin.
Persis sangat menonjol dalam
usahanya memberantas segala macam bid’ah dan khufarat dengan cara-cara radikal
dan tidak tanggung-tanggung. Lebih-lebih setelah Persis berada dalam
kepemimpinan ustadz A. Hasan yang terkenal tegas dalam menegakkan kemurnian
agama, maka Persis semakin hari semakin bertambah luas dan berkembang. Diantara
alumni pendidikan Persis yang terkemuka adalah M.Natsir, seorang tokoh
cendikiawan dan pemimpin Islam Indonesia yang juga pernah menjadi Perdana
Menteri Republik Indonesia serta menduduki jabatan-jabatan penting dalam
Lembaga Islam International.
Ormas-Ormas
Islam yang Behaluan Tradisionalis :
NU
Sebagai Gerakan Tradisional Islam
Perkembangan NU
Posisi
dan peranan NU memiliki kedudukan yang unik tidak saja di Indonesia tetapi juga
di dunia Islam. NU adalah organisasi yang didukung oleh rakyat banyak bahkan
kehadiran NU mengakar di kalangan rakyat banyak terutama di pededesaan,
pengaruhnya pun berkembang di seluruh Indonesia. Dengan gerakan
tradisionalismenya itu timbul upaya-upaya untuk memperkuat sistem kelembagaan
yang dipimpin oleh ulama terutama mesjid dan pesantren. Berbeda dengan
Muhammadiyah yang mendirikan sekolah-sekolah umum, panti asuhan, poliklinik,
dan rumah sakit. Namun NU melakukan beberapa kegiatan utama lainnya yaitu:
pertama, melakukan aktualisasi ajaran-ajaran Islam dengan kegiatan yang kini
terkenal dengan Bahtsul Masail. Sebenarnya dengan membahas masalah-masalah
keagamaan yang aktual di masyarakat itu para ulama juga melakukan penggalian
dan konsolidasi ajaran tradisional. Kedua, NU melakukan kegiatan yang sangat
penting dalam memelihara tradisi Islam yakni mencetak kader-kader ulama, dengan
cara ini NU sebenarnya juga melakukan suatu pewarisan nilai dari generasi ke
generasi.
NU
disebut sebagai organisasi massa Islam tradisional dengan ciri-ciri; pertama,
NU menganut dan mengembangkan ajaran empat mazhab (Imam Syafi'i, Hambali,
Malik, dan Hanafi). Kedua, metode pendidikan Islam yang diterapkan melalui
pesantren-pesantren dinilai kurang mampu mengakomodasikan perkembangan dunia
modern. Ketiga, pola hubungan struktural (interbal komunitas NU bersifat
superordinasi) yang menunjukkan peran kyai pada strata atas dengan berbagai
legitimasinya. Ciri inilah yang sering diperhadapkan dengan organisasi
Muhammadiyah yang sering disebut berciri pembaharu, yakni purifikasi
(pemurnian) ajaran Islam dari berbagai bentuk pengaruh tradisional.
Hingga
saat ini perjalanan NU telah menunjukkan perkembangan dalam tiga fase dengan
ciri-ciri yang berbeda. Pertama, sebelum kemerdekaan dengan ciri utamanya
adalah kiprahnya lebih ditekankan pada pengembangan ajaran Ahlu al-Sunnah wa
al-Jama'ah melalui pendidikan pesantren. Kedua, NU melibatkan dirinya dalam
politik praktis. Ini tampaknya juga berkaitan dengan situasi politik pada awal
kemerdekaan atau sebagai dampak dari diakomodasinya kekuatan-kekuatan politik
yang tumbuh dalam masyarakat untuk mewujudkan diri mereka menjadi parta politik
dengan bergabung di Masyumi yang merupakan salah satu representasi dari unsur
islamisme yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Ketiga, kembali ke khittah
1926, ini memiliki alasan yang kuat sehingga terus mendorong upaya
mengembalikan NU pada semangat awalnya. Salah satu alasan yang cukup mendasar
adalah selama NU berkiprah di politik praktis, ada kecenderungan yang
menunjukkan gejala terlantarnya lembaga-lembaga pesantren sebagai basis
pengembangan gerakan NU. Dalam perkembangan selanjutnya NU sekarang ini
merupakan organisasi sosial keagamaan. Namun sebagian dari tokoh-tokohnya masih
merupakan orang-orang yang aktif dalam kegiatan politik secara tersebar. Demikianlah
perkembangan NU sebagai gerakan tradisonalis Islam yang pada awalnya memusatkan
perhatiannya pada lembaga-lembaga pesantren dan kemudian pada politik praktis
dan yang terakhir telah kembali ke khittah (semangat) 1926.
Penganut Ahlu
al-Sunnah wa al-Jama'ah
Sejak
awal NU menegaskan bahwa ia merupakan penganut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah,
sebuah paham keagamaan yang bersumber pada Al-Qur'an, sunnah, ijma, dan qiyas.
Oleh karena ingin mempertahankan dan mengembangkan paham ini maka NU berdiri. Secara
harfiah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah berarti penganut sunnah Nabi Muhammad saw
dan jama'ah adalah sahabat-sahabatnya. Secara ringkas berarti segolongan
pengikut sunnah (jejak) Rasulullah saw yang di dalam melaksanakan ajaran-ajaran
beliau berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jamaah (sahabat Nabi).
Pada
persoalan-persoalan hukum, NU merupakan penganut "mazhab empat"
terutama mazhab Syafi'i yang dikenal sebagai ulama moderat. Meskipun NU
bermazhab tetapi penerimaannya tidak mutlak, hukum-hukum itu diperiksa,
diselidiki, kemudian dijadikan pedoman.
Posisi
religi-ideologis NU dalam hal hadis dan sunnah seperti itu diperkuat lagi oleh
sikapnya yang khas dalam fikih. Mazhab fikih seperti dikemukakan Martin yang
dikutip oleh Asyumardi Azra agaknya juga merupakan salah satu konsep yang
paling sentral dalam lingkungan Islam tradisional. Bagi kaum tradisional, fikih
adalah "Ratu" ilmu-ilmu Islam. Fikih dipandang sebagai panduan bagi
segenap tingkah laku dan perbuatan kaum muslimin yang menetapkan mana yang
boleh dikerjakan dan mana yang tidak. Sejauh
menyangkut fikih, NU sangat menekankan taklid dan sebaliknya cenderung tidak
mendorong ijtihad, sebab dalam pandangan NU adalah berbahaya jika seseorang
berpegang hanya kepada bacaan dan pengertiannya sendiri mengenai Al-Qur'an dan
hadis. Bahkan tindakan seperti ini dapat membawa kepada dosa besa. Karena
itulah kaum muslimin ditekankanuntuk mengikuti secara ketat ijtihad yang telah
distandarisasikan dalam empat mazhab Sunni, yaituHanafi, Hanbali, Maliki, dan
Syafi'i.
Hemat
penulis Pengaruh Modernisasi telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan
kebangkitan Islam di Indonesia. Ide gerakan pembaharuan tersebut masuk ke
Indonesia melalui berbagai saluran, antaranya lewat kontak para intelektual
muslim Indonesia dengan intelektual muslim Timur Tengah, dan kontak jemaah haji
Indonesia dengan jemaah luar .
Bermula
dari pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau, yang disusul
oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia
yang ditandai dengan berdirinya organisasi Jami’atul Khair (1905). Kebangkitan
Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan,
seperti Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911),
Persyarikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat (1911), Muhammadiyah di
Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nahdatul
Ulama (NU) di Surabaya (1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti) di
Candung, Bukittinggi (1930), dan Partai-partai Politik, seperti Sarekat Islam
(SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi)
di Padang Panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari
organisasi pendidikan Thawalib dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938
.
Organisasi-organisasi
sosial keagamaan Islam dan organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar
menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern, yang
dikemudian hari berperan aktif dalam perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan
Indonesia.
Dan
penulis mengakui juga kekuatan terbesar yakni Islam Tradisional. Tema
tradisional merupakan tema untuk sesuatu yang irational, pandangan dunia yang
tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan. Tradisionalisme dianggap
sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen Agama melalui penafsiran
terhadap kitab suci Agama secara rigid dan literalis.
Secara
etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang
telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau sebagai otoritas dari
segala bentuk yang telah mapan. Menurut
Achamad Jainuri, kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya
diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional
yang tidak tertarik dengan perubahan dalam pemikiran serta praktik Islam.
Sementara
itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada tradisi. Lawannya adalah
modernisme, liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme. Berdasarkan pada
pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme adalah bentuk
pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau dan sudah
diperaktekkan oleh komunitas Agama.
Di
bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu ajaran yang berpegang pada
Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah
diperaktekkan oleh komunitas Muslim.
Kaum
tradisionalis di Indonesia adalah mereka yang konsisten dalam berpegang teguh
pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama’-ulama’ terdahulu dalam perilaku
keberagamaannya. Konkritnya, memegang dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik
madzhab empat.
Kaum
tradisionalis meyakini Shari’ah sebagai hukum Tuhan yang dipahami dan
dipraktekkan semenjak beberapa abad silam dan sudah terkristal dalam beberapa
madhab fiqh. Dalam bahasa Fazlur Rahman, mereka lebih cenderung memahami
syari’ah sebagaimana yang telah diperaktekkan oleh ulama’ terdahulu. Mereka
menerima prinsip ijtihad, akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
tradisional seperti qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.
Dalam
masalah tareqah mereka menganggapnya sebagai dimensi terdalam dari ajaran
Islam. Dalam masalah tarekat ini mereka merujuk kepada Imam al-Ghazali untuk
dijadikan sebagai tokoh sentral, yang muncul pada abad ke-12/18, seperti ajaran
yang disampaikan oleh al-Ghazali.
Howard
Federspiel, mengartikan tradisionalisme di Indonesia sebagai paham yang
mempertahankan nilai-nilai yang telah mapan di kalangan umat Islam penganut
madhab Shafi’i. Kelompok ini, di Indonesia, muncul pada abad ke-20 sebagai
perlawanan terhadap pandangan-pandangan kaum modernis. Sementara terma modernis
menunjukkan pada kelompok yang merasionalkan segala bidang kehidupan, termasuk
Agama, pengetahuan dan teknologi. Kelompok ini muncul pada abad ke-20, yang
menyerukan reformasi bidang Agama dan menjadikan Islam sebagai senjata dalam
melawan modernisasi di tengah-tengah masyarakat muslim.
Dalam
konteks sosial-budaya, unsur-unsur yang terdapat pada Islam tradisional
Indonesia meliputi adanya lembaga pesantren, peranan dan kepribadian kyai yang
sangat menentukan dan kharismatik. Basis masa kaum tradisionalis semacam ini
pada umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya Islam tradisionalis di
Indonesia dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai dikatakan bahwa Islam
tradionalis adalah Islam pedesaan.
Islam
tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual sederhana,
secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis.
Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang kontroversial dengan
yang konservatif, akan tetapi peran warna konservatifme sangat kuat sekali di
tingkat lokal.
Bandung,
19 September 2018
Penulis
Sunyi : Yadi Jayadi
Komentar
Posting Komentar