“Sama-Sama Tahu” Istilah Keren Diantra Pejabat Yang Korupsi
Suburnya korupsi di Indonesia membawa
pengaruh yang sangat buruk bagi negeri ini. Korupsi mempengaruhi sektor politik
negeri ini, ia mempersulit pelaksanaan demokrasi dan tata pemerintahan yang
baik (Good Governance) dengan cara menghancurkan proses birokrasi. Korupsi
terjadi saat pemilihan umum pelaksana pemerintahan dan anggota perwakilan
rakyat. Hal ini tentu saja mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di ranah
pembuatan kebijaksanaan yang pro rakyat. Korupsi yang terjadi di sistem
penegakkan hukum juga dapat membuat para pelaku kejahatan lolos dan tidak
teradili.
Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi: Bahwa tindakan pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga
harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Akibatnya tindak pidana korupsi yang
terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut
efisiensi tinggi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Melacak “jejak kaki”
koruptor di negeri ini amatlah tidak mudah. Pasalnya selain membutuhkan fakta
dan data, tentu pengetahuan kita harus mempuni melebihi pengetahuan para
koruptor itu sendiri. Dengan begitu, kita bisa membedakan mana “jejak asli”
atau “jejak palsu” yang dibuat si koruptor untuk mengelabui para pembasmi
korupsi. Pengertian korupsi mungkin hanya istilahnya saja yang membedakan, pada
hakikatnya sama saja dari generasi ke generasi. Suatu kali penulis pernah
menanyakan definisi korupsi pada pemilik warteg (warung tegal) dekat rumah, dia
menjawab “korupsi itu perampokan uang rakyat untuk kepentingan pribadi” meskipun
dalam peraktiknya banyak orang yang mencoba mengaburkan makna korupsi dengan
cara; kolusi, nefotisme, gratifikasi, dan lain-lain. Paling tidak, seperti
tadilah definfisi singkat dari term
“korupsi”.
Dalam prakteknya korupsi adalah produk dari
sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard
kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang
kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam
golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan
menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat. Budaya baru ini yang
bernama korupsi seakan menjadi kebiasaan yang legal dan tidak dilarang dalam
segi pandangan agama maupun hukum negara ini. Seakan menjadi pembenaran dari
kalangan paling bawah sampai kalangan atas sudah sama-sama mafhum dan tidak
keberatan jika melakukan korupsi, atau menemukan orang lain melakukan korupsi.
SST : sama-sama tahu adalah istilah keren untuk perbuatan yang
tidak menyakiti kawan jika melakukan korupsi. Entah siapa yang memulai ini
pertama kali, tapi sekarang fenomena korupsi menjadi sangat memprihatinkan dan
dilakukan hampir semua sektor dan melibatkan semua kalangan sehingga korupsi
saat ini sudah membentuk budaya baru dikalangan masyarakat.
Kata
korupsi sepertinya telah mengikuti perjalanan bangsa ini. Jika kita mau melihat
sejenak ke masa lalu, penulis teringat dengan tulisan Dukut Imam Widodo. Dia
menulis bertajuk “Soerabaia Tempo Doeloe” dalam tulisannya Dukut
menuliskan pengalaman Nicolas Engelhard (Gubernur Pantai Timur Jawa) pada 15
April 1805. Engelhard mengungkapkan, bahwa dirinya menjadi kaya raya karena
sogokan orang-orang pribumi yang menginginkan jabatan. Lantas apa yang
membedakan korupsi zaman VOC, zaman pergerakan, zaman kemerdekaan, zaman Orde
Lama (Orla), zaman Orde Baru (Orba), dan zaman Orde Reformasi?
Salah
satu koran harian nasioanal, dalam tajuk rencananya berjudul “pentjolengan
ekonomi” (14/09/1965). Menggambarkan bahwa koruptor adalah pencoleng
ekonomi bangsa. Tajuk tersebut sebenarnya mengomentari betapa berlepotannya
Orla dengan korupsi. Ada berita mengenai manipulasi benang tenun, manipulasi
minyak dan pupuk, serta persidangan salah satu direktur pabrik gula lantaran
menerima suap. Mestinya saat kita melacak jejak korupsi tahun 1965, sudah harus
bisa berefleksi apakah bangsa ini bisa belajar dari kasus korupsi ke korupsi
yang lainnya? Rasanya, tak ada bedanya dengan suap di Orla dengan suap proyek
hambalang di Orde Reformasi.
Orla
usai sudah, kemudian diganti Orba dengan semangat koreksi total atas kesalahan
Orla. Nyatanya, Presiden Soeharto yang berkuasa hampir 32 tahun pada akhirnya
tumbang lantaran kasus korupsi. Pada era Reformasi (1998-2013) justru kasus
korupsi yang diberitakan sangatlah banyak. Hingga Oktober 2013, berdasarkan
data Pusat Informasi (PI) salah satu koran nasional rata-rata diproduksi 3.223 berita tentang
korupsi. Dengan begitu, setiap bulan terdapat 267 berita mengenai korupsi,
paling tidak setiap hari ditemukan 8,9 diksi mengenai koruspi! Pada saat Orab
produksi diksi korupsi memang lebih rendah ketimbang era Reformasi, sudah bisa
dipastikan salah satu penyebabnya, keterbukaan politik dan kebebasan pers
menjadi penentu. Hingga kasus-kasuk korupsi tidak mencuat ke permukaan saat era
Orba, karena pemberendelan media masa.
Pada
1999, saat hajatan demokrasi di gelar pertama kalia paca-Orde Baru, isu korupsi
juga mencapai angka 2.631 berita korupsi. Pola yang sama pun terjadi lagi pada
2004, saat pemilu dilangsungkan berita korupsi kembali mencapai 3.223 berita.
Sedangkan pemilu 2009 berita korupsi mencapai 3.176. korupsi selain merugikan negara, juga selalu
menjadi isu yang seksi saat menjalang sirkulasi kekuasaan. Bahkan wakil ketua
KPK Bambang Widjojanto mengungkapkan, “pemilu 2014 tidak lagi menjadi pesta
demokrasi melainkan ajang perampokan besar-besaran kekayaan negara dan uang
rakyat.”
Pramono
Anung dalam disertasi doktoralnya menyebutkan,
penerapan sistem proposional terbuka dalam pemilu legislatif dikhawatirkan
meningkatkan biaya politik. Hingga nantinya, DPR akan dipenuhi orang yang
mengandalkan popularitas atau dukungan finansial ketimbang kader yang
berkontribusi membesarkan partai. Menurutnya, penyelewengan kekuasaan anggota
DPR menjadi terbuka dalam sistem pemilu seperti sekarang. Penulis pikir ada
benarnya apa yang dikatakan Anung dan Bambang terkait tren korupsi yang sudah
akut serta penuh tipu muslihat.
Kemudian
bagaimana KPK membasmi korupsi, melihat pola-pola yang dimainkan sang Koruptor?
Bambang memetakan pola-pola yang dimaainkan si koruptor. Pertama, penganggaran
bantuan sosial (bansos) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Cairnya dana bansos dalam jumlah besar tak hanya muncul menjelang pilkada untuk
membiayai petahanan kembali kekuasaan. Namun, dalam pemilu legeslatif pun
bansos APBD cendrung naik. Apalagi DPRD terlibat membahas APBD, sudah pasti
dana bansos menjadi ajang paciwit-ciwit lutung. Kedua, munculnya
peroyek marcusuar. Bentuk proyeknya bisa beragam macam, mulai dari pembangunan land
mark kota, gedung pemerintahan, dan lain-lain.
Ketiga, ada kompensasi dalam pembahasan APBD
menjelang akhir tahun. Kompensasi tersebut diberikan eksekutif kepada DPRD
sebagai bekal mereka mempersiapkan diri menjelang pemilu. Penulis pikir di
tataran pemerintah pusat pun hampir sama, antara legeslatif dan eksekutif
selalu ikut “bermain” bersama. Mungkinkah korupsi bisa hilang? Perdebatan
panjang dan strategi membasmi korupsi seoalah tak pernah berhenti. Mulai dari
ruang diskusi di hotel, kampus, media (TV dan koran), termasuk di media sosial.
Semuanya rame-rame membicarakan korupsi meskipun korupsi tak pernah mati di
negri ini.
Seandainya
kita tidak berlanggannan koran dan menonton berita, mungkin kegelisahan
terhadap korupsi tidak pernah ada. Ungkapan terhadap korupsi pun beragam; vonis
hakim, pemiskinan koruptor, potong jari, dan adalagi gantung di
monas—pernyataan Anas Urbaningrum. Tentu kita masih ingat nama-nama populer
para koruptor di tahun 2013: Nazaruddin bersam istrinya (proyek pengadaan
pembangkit listri tenaga surya), Angelina Sondakh (suap kepengurusan anggaran
kemendiknas dan kemnpora), Luthfi Hasan Ishaaq (suap impor daging sapi), Anas
Urbaningrum (dugaan suap proyek Hambalang), Zulkarnaen Djabar (proyek pengadaan
Alquran), Rudi Rubiandini (suap investasi pertambangan minyak dan gas bumi), Djoko
Susilo (simulator SIM), Akil Mochtar (suap sengketa pemilukada), Andi
Mallarangeng (proyek Hambalang), Atut, dan lain-lain.
Dalam bingkai
kebudayaan, saat melihat relitas yang terjadi, seperti korupsi. Sebenarnya hal
itu bisa dijabarkan saat peristiwa tersebuat diwakili oleh yang lainnya. Konsep
kebudayaan pun sejatinya melakukan berpikir dan reflektif untuk menggambarkan
fakta yang terjadi, yang bisa diindrakan. Saat melihat kenyataan yang ada, dan
meski waktu terus bergerak. Namun soal besar korupsi di negri ini tak kunjung
sirna. Kasus korupsi memang masih dipandang sebagai minyak pelumas sistem
ekonomi indonesia. Pendeknya suap sebagai insentif agar birokrasi melayani
publik dengan sebaik-baiknya.
Masih
banyak orang yang mengganggap, bahwa korupsi biasa saja dan lazim terjadi. Ini menunjukan
minusnya kesadaran dan perbuatan dari setiap orang termasuk para penguasa,
pengusaha, dan rakyat sekalipun. Korupsi memang perang yang belum kita menangi,
perang melawan korupsi terkadang masih terganjal dengan paradigma yang
menganggap bahwa korupsi masih menjadi mesin pelumas sistem ekonomi. Sudah
saatnya timbul kesadaran tiap diri masing-masing. Masalah besar bangsa ini yang
senantiasa bergejolak dalam diri penulis yakni, mengapa kita terus miskin,
terbelakang dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain. Setiap
pengamat dan pemerhati tentu akan menemukan jawaban yang beragam, tergantung
latar belakang pengetahuan dan pengalaman masing-masing.
Terus
terang saja, bangsa yang kita cintai bersama ini merupakan bangsa nomor empat
di muka bumi. Namun sepertinya bangsa kita sedang mengalami krisis jati diri
dan krisis identitas. Banyak hal yang menggembirakan, tapi banyak hal juga yang
menyedihkan dan menyakitkan bangsa ini salah satunya korupsi. Kalaulah kita
katakan sudah merdeka, sejauhmana kita menumbuhkan nasionalimse ekonomi,
nasionalime politik, nasionalisme pertahanan-keamanan, nasionalimse pendidikan,
dan nasionalisme bidang kehidupan lain? Penyakit korupsi memang tak pernah
pergi!
Rujukan Bacaan
Edward W. Said, Kebudayan Dan Kekuasaan,
Mizan, 1995
M. Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa:
Selamatkan Indonesia!, PPSK Press, 2008.
Maryaeni, Metode Penelitian kebudayaan,
Bumi Aksara, 2005
Zainuddin
Maliki, Politikus Busuk: Fenomena Insensibilitas Moral Elite Politik,
Galang Press, 2004
Komentar
Posting Komentar