BerPolitik Bebas Nilai


(Apakah kita sanggup keluar dari kemelut sejarah dan mencegah agar tragedi politik tidak terulang lagi)

Membicarakan tentang makna politik dalam semua sisinya tetap menjadi wacana aktual yang tak berkesudahan. Hal ini disebabkan, karena keberadaannya secara fungsional identik dengan keberadaan masyarakat itu sendiri.
Kehidupan berpolitik sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan bernegara di Republik ini, Pancasila adalah etika mendasar dalam kerja-kerja politik yang konstruktif bukan destruktif. Politisi yang tidak menjadikan Pancasila sebagai ruh dalam berpolitik maka ia jelas Anti Pancasila. Perilaku menghalalkan segala cara dalam berpolitik, korupsi, kolusi, gratifikasi, dan rakus kekuasaan adalah sikap Anti Pancasila, manusia anti Pancasila tidak layak hidup dinegeri ini, karena Pancasila adalah “Rumah Utama dan Pertama” bagi segenap rakyat Indonesia. Namun, kenyataan terkadang tidak berbanding lurus dengan ekspektasi.
Keberadaan parpol dalam suatu negara, dianggapa sebagai salah satu perangkat institusi demokrasi karena fungsi parpol diantaranya yaitu:
pertama, menyerap dan mengartikulasikan aspirasi atau kepentingan rakyat;
kedua sarana sosialisasi dan komunikasi politik,
dan ketiga sebagai media penyaluran perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat maka keberadaan partai politik yang kuat menjadi faktor penting dalam kehidupan berbangsa.
Sebenarnya, keberadaan parpol memang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kekuasaan. Sirkulasi kekuasaan harus diatur melalui mekanisme yang harus ditaati oleh semua warga negara.  Oleh karena itu, sebagai media penyaluran perbedaan pendapat melalui cara parlementarian, sesungguhnya keberadaan parpol akan memindahkan konflik di dalam masyarakat ke lembaga-lembaga perwakilan. Pengelolaan perbedaan pendapat tersebut tentu sangat bergantung pada pola dan tradisi yang dikembangkan oleh lembaga perwakilan, apakah menghargai perbedaan sebagai sebuah rahmat atau tidak.
Realitasnya, banyak politisi dan birokrat pada praktek aktivitas berpolitiknya tidak lagi mengindahkan etika dan moralitas sebagaimana yang diamanatkan dalam lima dasar Pancasila beserta 45 butirnya sebagai penegas. Para politisi dan birokrat tersebut seakan dengan sengaja mengakali dan mengangkangi landasan ideologi negeri ini dengan sadar tanpa beban. Berikutnya dapatlah kita prediksikan, pelacuran-pelacuran terhadap aturan (konstitusi) marak terjadi. Aparat penegak hukum, mulai dari pusat hingga daerah banyak yang nyambi jadi mafia kasus dan berkelindan dengan terdakwa serta para pesakitan yang harusnya mereka berikan sanksi tegas atas pelanggaran hukum yang telah dilakukan, tak pelak praktek suap dan rasuah menjadi hal yang terkesan “dibiasakan” terjadi. Birokrat tidak lagi menjadi pelayan kepentingan rakyat, aparat tidak mampu mengayomi dan menjadi tauladan untuk rakyatnya, yang nyata mereka menjadi budak-budak kepentingan dan kerakusan atas keberkuasaan yang mengekstasi dan melenakan dengan selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat, padahal sama sekali tidak.
Pandangan politik partai terhadap dunia sering disebut sebagai ideologi politik partai. Memang kita akui bahwa istilah ideologi digunakan oleh sejumlah penulis dalam arti yang berbeda. Ada yang menekankan pada unsur ideos-nya, yang berarti gagasan, atau lebih tepatnya nilai-nilai; ada yang menekankan pada unsur logos-nya, yang berarti sistem yang berlaku dalam suatu negara. Secara ringkas, ideologi mengandung pengertian gagasan, keyakinan, nilai, dan pandangan hidup dalam negara atau politik. Jadi pemikiran atau pandangan politik tertentu sudah inhern dengan kehidupan partai. Meskipun suatu partai memiliki program yang bersifat universal, misalnya sama-sama memperjuangkan keadilan, demokrasi, dan masyarakat madani, partai politik tetap tidak bisa terlepas dari pandangan tertentu yangmenjadi nilai dasar dalam menentukan ciri dan identitas partainya. Dengan kata lain, ideologi partai politik itu tercermin dari visi dan misi politik suatu partai. Visi dan misi partai bisa kita lihat dari program-program partai yang diperjuangkan.
Melihat hal seperti ini, keberadaan banyak partai akan menimbulkan beberapa nilai tambah dan kekurangan. Positifnya adalah, rakyat akan semakin terbuka menyalurkan aspirasi politiknya, tanpa intimidasi. Udara kebebasan ini lambat laun akan menjadikan rakyat kita semakin rasional, kritis, dan partisipatif dalam mengikuti segala proses politik yang sedang terjadi.
prosees sosial politik akan lebih terbuka dan transparan sehingga budaya penggarapan dan intervensi penguasa kepada segala bentuk mekanisme sosial yang berkembang di masyarakat saat itu menjadi nilai tabu. Kehidupan demokrasi di Indonesia akan terbangun dalam suasana keterbukaan, transparan, dan adil. Apabila berjalan, fungsi-fungsi kontrol dari rakyat dan atau melalui lembaga perwakilannya akan mampu membatasi kekuasaan pemerintah.
Yang terjadi kemudian adalah adanya mekanisme pemberdayaan visi politik masyarakat. adapun aspek negatifnya adalah, pertama, bila arus keterbukaan ini berkembang menjadi anarki, sehingga malah menghancurkan jalannya reformasi dan nilai toleransi antar dan antara umat beragama. Yang terjadi kemudian adalah sikap saling curiga dan akan membahayakan bangsa Indonesia yang terancam karena faktor SARA.
            Kedua, keberagaman pandangan politik, akan menyebabkan beragamnya pola dan perilaku politik masing-masing partai. Sehingga antar partai sangat mungkin terjadi konflik. Meskipun konflik sudah melekat dengan kehidupan parpol, paling tidak dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi tersebut harus berdasarkan nurani umat. Bukan berdasarkan kepentingan pribadi. Dalam hal ini, menurut penulis, keberagaman pandangan politik ini pada dasarnya adalah sebuah keberagaman dalam interpretasi dalam hubungannya antara rakyat dan elit atau pemerintah.
Kecurigaan ideologis akan diembuskan oleh siapapun yang termasuk kelompok siapapun (phobia/anti) dalam usaha membuat citra yang buruk terhadap partai, misalnya dengan isu-isu Teologi, Budaya dan Kemanusiaan Memang ini terdengar menyakitkan, tetapi menurut penulis, justeru ini adalah suatu tantangan bagi partai untuk membuktikan dirinya bahwa apa yang dituduhkan itu sama sekali tidak benar. Misalnya, dengan mengembangkan suasana dialogis antar parpol, menjadi lokomotif bagi terbentuknya masyarakat madani, partai yang menghargai perbedaan pendapat dan pluralisme, partai yang tetap mempunyai komitmen kebangsaan yang satu, tidak terpisah, dan menjadi partai harapan rakyat Indonesia.
            Akhirnya masa depan ada ditangan kita sebagai bangsa Indonesia. Apakah kita sanggup keluar dari kemelut sejarah dan mencegah agar tragedi politik tidak terulang lagi. Dibutuhkan perenungan dan kejernihan berpikir, kebijaksanaan, dan bersandar pada tali silaturahmi yang tulus. Tentunya dibutuhkan sikap sebagai seorang negarawan dan bertanggung jawab terhadap masa depan bangsanya sendiri. Ditambah kita tengah menghadapi momen politik yang bagi penulis momen ini sangat hangat terasa 2018 Pemilihan Kepala Daerah Secara serentak dan berlanjut dengan Pemilihan Presiden 2019 nanti yang riak-riaknya sudah mulai terasa.
Hemat penulis 2018-2019 akan menjadi cerminan dimana sebuah  negara baik atau buruknya sebuah sistem politik dan Sebagai Citra bagi Indonesia sebagai negara Demokrasi. Sebuah pertanyaan untuk bangsa ini masihkan Negara Ini Ber-Demokrasi dan menjungjungnya, Atau bahkan Sebaliknya dengan Negara Otoriter Sesuai Kehendak Elit.
Bandung, 24 Juni 2018
Penulis Sunyi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”