Relakah Kita (Pemirsa) Hanya Mengkonsumsi Racun Yang Diberikan Televisi


Kita masih mengakui bahwa masyarakat Indonesia, lebih kuat dengan budaya lisan. Dengan begitu hampir tak ada jarak yang jauh antara pemirsa dan televisi. Bisa dipastikan perkembangan televisi di negri ini, keberadaannya melampaui media-media massa lain seperti; koran, majalah, dan buku. Dari segi harga, meski tidak selalu dikatakan murah untuk sebagian besar masyarakat Indonesia, keinginan membeli televisi jauh lebih tinggi ketimbang untuk membeli buku bacaan. Pada akhirnya, televisi saat ini telah menjadi media keluarga yang menjadi “keharusan” di tengah-tengah mereka. Sebuah rumah dikatakan lengkap manakala ada televisi di dalamnya.
Sebagai primadona media, televisi bisa kita jumpai dari mulai rumah-rumah elit sampai ke pelosok-pelosok desa. Dari mulai rumah-rumah hunian liar, di pinggir-pinggir sungai, atau pun di bawah lorong jem batan televisi pun “duduk manis”. Televisi memang memberikan efek samping yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat. Bahkan tanpa disadari, bau kapitalistiknya yang amat kental baik langsung maupun tidak, tetap saja memberi pengaruh pada prilaku dan pola pikir masyarakat. Dalam deretan informasi saja, media televisi memiliki daya penetrasi (perlawanan) jauh lebih besar dari media lain.
Para pembaca koran, baik yang berlangganan ataupun yang eceran tentu memiliki kecendrungan untuk setia pada pilihan media. Titik tekannya, kepercayaan atas kualitas media menjadi pertimbangan seseorang untuk membeli dan membaca media tersebut. Dari sini sudah jelas ada faktor yang disebut kepercayaan atau kredibilitas terhadap media. Dengan begitu kestiaan dan kepercayaan akan sulit berlaku bagi pemirsa media televisi. Bagi kaum terdidik, hal yang sama saat merespon televisi sangatlah berdeda. Saat kaum terdidik menonton berita kemudian di pindahkan ke berita yang lain, justru untuk menambah informasi dan pengayaan berita.
Dilihat dari kemunculannya, televisi hadir sebagai hasrat dan ambisi Soekarno pada waktu itu. Tentu supaya negaranya tidak disebut sebagai negara tertinggal dari perubahan zaman. Di samping mengabadikan Hotel Indonesia dan Monas, maka hadirnya televisi bisa dikatakan sebagai salah satu “monumen” Indonesia. Pada waktu itu, televisi diperjuangkan Soekarno untuk bisa siaran pada 1967, dalam rangka menyongsong penyelenggaraan Asian Games IV pertama kali yang diadakan Indonesia. Terlepas proses datangnya televisi ke Indonesia seperti apa, yang pasti ada berbagai permasalahan yang serius berkenaan dengan media televisi. Apalagi, ketika pemirsa mengetahui bahwa televisi lebih banyak diserap oleh masyarakat menengah ke bahwah. Bisa dibilang masyarakata kelompok ini yakni masyarakat yang cendrung tdika keritis atau pasrah dengan apa yang ditampilkan acara televisi.
Ada lelucon genit dan tak sedap terkait televisi. Menurut Statler dan Wardoft, dua penonton abadi dalam perntunjukan The Mupet Show. Statler bertanya kepada Wardoft,  Tontonan apa yang paling ajaib di dunia? Jawabnya: televisi, karena begitu kita tidak suka dengan acaranya maka kita bisa putuskan hubungan dengan total, yakni tinggal memijit tombol “power” atau “off”. Kalau saja seonggok televisi bisa ngomong mungkin dia akan berkata “jangan matikan aku”.
Kiranya pembaca bisa paham makna dari ilustrasi tadi. Sebenarnya ada beberapa yang akan dibahasa dan dianalisis dari uraian makalah ini. Tentu memakan waktu seumpama pembahasanya, terkait semua program yang ditampilka seluruh saluran televisi. Adapun pembahasanya meliputi: sinetron, berita, dan reality show. Di bawah ini setidaknya akan dibahas satu persatu,  dengan berangkat dari pengalaman penulis di dunia pertelevisian dan berbagai sumber bacaan. Tentunya dengan mengedepankan sejarah, akar permasalahan, kecendrungan, dan persoalan yang melingkupinya. Kesemuanya itu terkait relasinya dengan pemirsa sebagai konsumer tayangan televisi.
Pertama. Istilah sinetron merupakan kepanjangan dari “sinema elektronik”. Secara teknis tak ada bedanya dengan layar lebar maupun bioskop. Paling karakter media dan peralatannya saja yang membedakan sinetron dengan bioskop dan layar lebar. Pemirsa yang menonton layar lebar bisa melihat tayangan secara utuh tanpa diputus oleh iklan dan kepentingan lain. Beda halnya dengan sinteron yang diselingi dengan iklan, dalam televisi iklan serupa darah segar bagi kehidupan media televisi tersebut.
Berbicara sinetron maka kita akan berbicara produdction house (rumah produksi, PH). PH merupakan salah satu penyuplai program acara televisi, termasuk sinetron di dalamnya. Adapun hubungan PH dengan setasiun televisi terdiri dari tiga macam, yakni jual beli, kerja sama, dan blocing time. Jual beli terbagi dalam dua sifat, yakni jual beli putus (flat) dan jual beli royalti. Untuk model yang pertama, televisi membeli produksi dari program dengan harga tertentu. Setelah itu, hak tayang menjadi kwenangan televisi dan perolehan iklan pun menjadi milik televisi sepenuhnya. Sementara untuk yang kedua PH mendapat bagian dari pembayaran iklan, tentu tidak dibayar diawal.
Bagi sebagian orang tua televisi seolah menjadi “penjaga” anak supaya anteng dan tidak menangis, dikala orang tua sibuk di dapur. Namun ada sesuatu yang kadang tak disadari pemirsa. Televisi memang menggunakan ranah dan ruang publik sebagai sasaran empuknya. Penulis kira sudah selayaknya televisi juga bisa menghargai hak-hak individu yang ada di wilayah sekitar. Banyak kasuk gara-gara shoting di rumah sakit lantas si dokter mengabaikan pasien hingga meninggal dunia. Jika televisi khususnya sinetron dihadapi dengan ketidakritisan, maka keburukan pun bisa berdampak pada pemirsa. Anak-anak bisa menjadi korban utama dari tayangan sinetron, terlepas kalangan menengah maupun bawah. Dalam kenyataan, banyak orang tua membiarkan anak-anaknya berlarut sampai berjam-jam di depan televisi dan menonton sinetron.
Kedua. Berita sebenarnya lebih dulu ketimbang sinetron, berita juga memiliki sejarah panjang  dengan sendirinya. Penampilan berita agak mulai bebas semenjak “kran” kebebasan dari pemerintah mulai dilonggarkan yakni pada tahun 1993.
Meski begitu, berita tetaplah tergolong baru dalam mewarnai pertelevisian Indonesia. Rasanya kita tidak bisa menyamakan antara berita tertulis di koran dengan berita yang ada ditelevisi yang sudah audio visual yang bergerak. Meski sama-sama media massa, namun keterpengaruhanya lebih besar televisi ketimbang media lainnya. Coba kita ingat-ingat, saat menonton berita kriminal. Pemirsa diajak pada penampakan kejar-kejaran polisi dan maling, main hakim sendiri, porno-porno aksi walau terkadang gambarnya diblurkan. Polisi dan televisi seoalah menjadi hakim, bahwa si pelaku kejahatan adalah orang yang ditangkap tersebut.
Reporter pun seolah ikut-ikutan menyelidik kejadian perkara, memany nyaris berebut ranah antara polisi dengan wartawan televisi. Tentu efeknya pada pemirsa, mestinya dari pihak televisi mementingkan kepatuhan dan etika yang dijalankan si wartawan. Kekerasan dalam berita kriminal memang tak bisa dielakan lagi, karena hanya memindahkan dari cetak ke audio visual. Tekananya mestinya media televisi tidak bisa dilakukan begitu saja, terkdang juga dari ucapan banyak yang rancu jika saja di teliti seca ketat. Lain halnya dengan surat kabar atau koran yang memiliki editor bahasa. Terkadang, wartawanselalu punya anggapan semakin dekat dengan korban justru semakin bagus berita yang akan di tampilkan di televisi. Lantas dimana hukm etiknya seorang wartawan.
Dan Ketiga. Pernahkah pemirsa meneteskan air mata saat melihat program “bedah rumah”, “mimpi anak jalanan”, “kawin gratis” dan lain-lain? Tayangan relity show memang tergolong menggemparkan di acara televisi, apapun nama televisinya. Namun kalaulah yang dimaksud relity show, menapilkan tentang relitas sosial tentu pemirsa tidak akan kecewa.
Nyatanya banyak acara reality show, malah seperti games show. Bedanya kalau games show memakai uang sebagai obyeknya, sedangkan di reality show manusia sebagai obyeknya. Acara reality show kalau hemat penulis, lebih mengeksploitasi munculnya nuansa dramatik obyek permainan. Dengan demikian, ini akan menjadi sebuah ‘tontonan’ yang mengasikan sekaligus mengerikan juga. Bagaimana tiada, terkadang pemirsa emosinya seolah di bawa pada emosi-emosi sepontan, tak terbendung, bahkan di luar dugaan yang bisa menyedot saraf keharuan.
Sadarkah bahwa acara tersebut sebagai eksploitasi penderitaan dan kemiskinan, meski si obyek kadang tertawa dan tidak sedikit menangis. Sebut saja program “uang kaget” atau program “tolong”.  Meski si obyek mendapatkan uang, namun jelas ada timbal balik yang harus dikerjakan oleh permintaan televisi terhadap si obyek. Ada sebagian orang menganggap bahwa acara tersebut membantu si koraban. Memang benar, si obyek di beri uang dengan acara tersebut. Namun pernahkan pemirsa menilai, dengan acara tersebut banyak orang tak sadar. Saat program acara tersebut retingnya tinggi, otomatis iklan pun berjubel. Setelah itu, pihak televisi pun menjual pada yang lain. Pertanyaannya, sebandingkah penghasilan program tersebut denga yang di berikan kepada si obyek?
Uang ratusan ribu mungkin sangat besar bagi si obyek, namun dalam hitungan biaya produksi program acara tersebut sangatlah jauh. Bahkan bayaran artis dari acara tersebut, dengan uang yang diberikan televisi kepada si obyek amatlah jauh. Tapi itulah realitas televisi, nauansa sting yang dibangun seoalah me-ninabobo-kan pemirsa. Kita sebut lagi program “uang kaget”sangat jelas eksploitasinya, saat si obyek mendapat uang dalam jumlah yang banyak. Lantas harus dihabiskan secara mendadak, si obyek sampai berlari-lari hingga harus menuruti keinggina acara.  Kita bisa membayangkan, apa yang terjadi pada orang miskin yang sudah tua renta dan sakit-sakita. Tiba-tiba datang seorang host dengan membawa uang segepok. Di situlah moment dramati yang menjadi tontonan yang memilukan pemirsa.
Reality show memang menggarap masyarakat miskin sebagai obyek dari programnya. Sementara di balik program itu, ada banyak orang yang di untungkan ratusan juta bahkan miliaran. Semoga kita tersadar, saat menonton reality show tidak sebatas melihat kelucuan, menghibur, dan membahagiakan. Media memang efektif sebagai kepanjangan tangan manusia, dalam melancarkan program-program yang tampilkan ke pada pemirsa. Semua pemirsa bisa memaknai segala yang terjadi, di setiap tayangan. Namaun rasanya kita juga mesti seimbang dengan pengetahuan kita di belakang kamera. Yakni mengetahui proses pembentukan program, kepentingan yang didapat serta tujuan dari produksinya.
Televisi sejatinya berfungsi sebagai media komuniaksi, informasi, dan dengan sendirinya menjadi subjek pendidikan. Jika demikian, tentu saja tidak ada yang kontoversial keberadaanya. Namun saat televisi sebagai media bisnis, silang pendapat mulai bermunculan muali dari persepsi, persepektif, yang kemudian menghasilkan kepentingan yang berbeda-beda. Dalam bisnis rumus awalnya “mengeluarkan biaya serendah-rendahnya, dengan keuntungan yang sebesar-besarnya”. Tentu hal itu, sah-sah saja dalam dunia pertelevisian.
Namun, ketika demi bisnis terjadi eksploitasi yang berlebihan rasanya kurang tepat juga. Padahal, sebagaimana diuraikan dipembahasan, bahwa media televisi sebenarnya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat. Namun, hal itu hanya bisa dilakukan jika media televisi rela tumbuh bersama masyarakat. Ada beberapa point yang bisa menjadi garis tebal dari makalah ini; Pertama, adanya aturan yang adil dari pemerintah sendiri terutama KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) pusat dan KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah).
Kedua, harus ada lembaga kontrol media televisi yang berwibawa. Ketiga, harus menumbuhkan kaum yang profesional dan proposional dalam urusan pertelevisian. Keempat, terpeting adalah adanya kesadaran keritis masyarakat sebagai kelompok yang sering dijadikan obyek para pemilik televisi. Selain itu peran agama dan pendidikan sangatlah penting. Sebab yang menjadi objek bukan hanya anak-anak, remaja, dan orang tua. Bahkan alam sekitar pun bisa jadi obyek. Seandainya point-point tadi tidak bisa di jadikan pegangan dan pedoman, lalu apakah rela ketika pemirsa hanya mengkonsumsi racun yang diberikan televisi.
Pembaca dan pemirsa pun harus berani bertindak. Bila kita merasa dirugikan, jengkel, atau marah dengan tayangan televisi Indonesia. Kita punya hak untuk melakukan penggugatan secara hukum atas hal yang tampilkan televisi tersebut. Mudah-mudahan, keputusan KPI, No.009/SK/KPI/8/2004 tentang pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Tidak hanya sebatas keputusan belaka dan semoga tidak selalu berbenturan dengan kepentingan dan kekuasaan.
Bandung, 01 Juli 2018
Penulis Sunyi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”