DEMOKRASI, TERNYATA KALAH DALAM PERANG MELAWAN KORUPSI


Penulis : Yadi Jayadi
(Penulis Bergiat : Pengajar Ilmu Agama MITRA MUHAJIRIN – Bandung dan Pembina Generasi Muda Akademi Kehidupan Bandung dan Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN SGD Bandung)
Pembahasan tentang peranan negara dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari telah tentang demokrasi dan hal ini karena dua alasan. Pertama hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental sebagai telah ditunjukkan oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan lebih dari 100 Sarjana Barat dan Timur, sementara di negara-negara demokrasi itu pemberian peranan kepada negara dan masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda-beda (kendati sama-sama negara demokrasi). Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya tetapi ternyata demokrasi itu berjalan dalam jalur yang berbeda-beda. Dalam hubungannya dengan implementasi ke dalam sistem pemerintahan, demokrasi juga melahirkan sistem yang bermacam-macam.
Wajah demokrasi Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan tingkat ekonomi, poltik dan, ideologi sesaat atau temporer. Perkembangan yang terlihat adalah semakin lebarnya kesenjangan antara kekuasaan negara dengan masyarakat. Negara Orde Baru mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang kuat dan relatif otonom, dan sementara masyarakat semakin teralienasi dari lingkungan kekuasaan dan proses formulasi kebijakan.
Demokrasi yang diterapkan Negara kita pada era reformasi ini merupakan demokresi Pancasila, tentu saja dengan karakteristik yang berbeda dengan orde baru dan sedikit mirip dengan demokrasi perlementer tahun 1950-1959. Pertama, Pemilu yang dilaksanakan (1999-2004) jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya. Kedua, rotasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampi pada tingkat desa. Ketiga, pola rekrutmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka. Keempat, sebagian besar hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan pendapat.
Demokrasi merupakan perwujudan pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. : Realita memahami konsep Demokrasi Di Negeri ini sungguh sangatlah menghawatirkan. Dalam pelaksanaannya selalu saja ditemukan banyak sekali penyelewengan-penyelewengan yang banyak dilakukan.
Apabila demokrasi memiliki kekuatan dalam pengambilan keputusan, lantas bagai mana Konsepsi demokrasi dalam menanggulangi tindak pidana Korupsi yang baru-baru ini mulai memanas lagi, bagaimana demokrasi menjadi jembatan bagi rakyat untuk memberikan gagasannya untuk negeri ini yang darurat akan Korupsi. Bagi penulis Demokrasi kita sudah kehilangan wajah aslinya dan nilainya mulai mudar meski tidak semua pudar, sejalan dengan apa yang di ungkapakan Prof Moh Mahfud MD dalam tulisannya (Demokrasi Jalan Korupsi) mengungkapkan “bahwa demokrasi merupakan sistem atau jalan politik yang tepat untuk memberantas korupsi ternyata tak berlaku atau gagal diberlakukan di Indonesia. Indonesia telah gagal menjadikan demokrasi sebagai sistem dan alat politik yang legal untuk memberantas korupsi” .
Lanjutnya Prof Moh Mahfud MD dalam artikelnya “Pandangan-pandangan Sandholtz dan Kotzle (2000), Blake dan Martin (2006), atau Hellman (2008) yang meneorikan bahwa semakin demokratis suatu negara akan semakin efektif pemberantasan korupsinya, ternyata tak berlaku di Indonesia. Indonesia telah melakukan reformasi untuk membangun sistem politik yang demokratis karena keyakinan bahwa pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta penegakan hukum pada umumnya akan bisa dilaksanakan secara efektif melalui demokrasi”.
Demokrasi untuk mengatasi berbagai krisis yang kita bangun, ternyata kalah dalam perang melawan korupsi. Reformasi yang dibayar sangat mahal dengan melakukan amendemen atas UUD 1945 agar elemen-elemen penting demokrasi lebih mendapat tempat yang kuat di dalam konstitusi, ternyata tak membuat korupsi berkurang. Alih-alih berkurang, korupsi semakin menggurita dan merajalela. Banyak yang kemudian mengejek demokratisasi yang dulu kita bangga-banggakan. Ada yang mengatakan bahwa reformasi kita telah jauh kebablasan membangun demokrasi yang justru tak efektif dan keok melawan korupsi. William Liddle mengatakan bahwa demokrasi telah menjadi alat korupsi karena korupsi justru dilakukan melalui mekanisme demokrasi.
Penulis beranggapan Apabila Indonesia Di Bangun hanya atas dasar teori Demokrisasi semata (hanya ucapan) yang pada akhirnya Demokrasi melakukan penggusuran, Siapa yang akan tergusur ?, Yang akan tergusur adalah orang yang tidak memiliki kapital akan tergusur oleh Demokrasi, orang yang tidak memiliki sumber daya informasi akan tergusur oleh demokrasi, orang yang tidak memiliki media informasi akan tergusur oleh demokrasi, kalau demokrisasi hadir tanpa kecerdasan masyarakat, tanpa peranan masyarakat maka sejatinya masyarakat kita "tergiring" bukan masyarakat yang memiliki "pendapat" (Gagasan).
            Kalau masyarakat "Tergiring" dan kebebasan berpendapatnya di kebiri, yang seharusnya masyarakat memiliki pendapat (ide/gagasan). Pertanyaannya : Siapa yang memiliki pendapat? Dewasa ini orang yang memiliki pendapat adalah orang yang memiliki dan menguasai teknologi dan informasi (Media), Siapa yang Menguasai Teknologi dan Informasi (Media)?. orang yang menguasai pendapat dan informasi adalah orang yang memiliki kapital.
            Fenomena ini sudah sangat jelas bahwa siap yang memiliki kapital besar maka dia akan menguasai pendapat, media informasi dan bahkan dengan modal kapital dapat membeli suara (ide/gagasan) masyarakat bawah, apakah seperti ini “Ber-Demokrasi” yang sesungguhnya ? atau kah pemerintah tidak bisa tegas dalam berdemokrasi, masih banyak kejahatan – kejahatan berdemokrasi di negara ini.
            Ini sangat menghawatirkan (Negara Ini Sakit) , jelasnnya orang yang tidak memiliki kapital (Orang Miskin) akan terseok-seok di sudut-sudut kehidupan bahkan jeritannya dan pendapatnya tidak akan terdengar, Ini Bukan Demokrasi namanya (ini Kesemuan dalam Ber-Demokrasi)
            Dan ini ungkapan Prof Moh Mahfud MD dalam tulisannya (Demokrasi Jalan Korupsi)Pada era ini, konsolidasi demokrasi tampak berhasil dan memberi harapan akan efektivitasnya memerangi korupsi. Namun lama-kelamaan, tepatnya setelah Pemilu 2004, sistem yang demokratis mulai bergeser menjadi oligarkis. Demokrasi menjadi pasar jualbeli untuk jabatan-jabatan politik.
Demokrasi menjadi tidak substansial, tetapi lebih prosedural semata sehingga ia pun secara praktis mudah dijadikan alat untuk korupsi. Bukan rahasia lagi bahwa pemilihan-pemilihan pejabat publik, baik yang langsung dilakukan oleh rakyat maupun melalui DPR, marak dengan isu politik uang dan koncoisme.
Pemilu legislatif menjadi ajang bebas untuk saling bantai melalui kekuatan uang dan kecurangan, begitu juga pemilihan kepala daerah dipenuhi oleh penyalahgunaan jabatan dan permainan uang. Banyak parpol yang kemudian bukan menjadi organisasi politik yang demokratis, melainkan oligarkis sehingga keputusan-keputusan penting hanya ditentukan oleh beberapa gelintir orang.
Keputusan yang bersifat oligarkis itu kemudian diteruskan melalui rekayasa secara struktural sehingga yang di bawah, mau tidak mau, harus selalu menerima. Selain diidentifikasi sebagai sistem yang oligarkis, kepolitikan kita dapat juga disebut sebagai sistem yang poliarkis, yakni sistem yang dalam pengambilan keputusan publiknya hanya ditentukan oleh eliteelite berbagai organisasi politik, pejabat negara, ormas, pebisnis, dan berbagai organisasi profesi yang menonjol.
Apapun identifikasi kepolitikan yang lebih tepat, apakah oligarkis atau poliarkis, untuk Indonesia saat ini yang jelas bukanlah sistem demokrasi yang substantif. Menjadi niscaya, sistem yang muncul tak berjaya menghadapi korupsi karena isinya memang bukan demokrasi. Keadaan seperti ini, kalau dibiarkan terus-menerus, sungguh membahayakan kelangsungan kebernegaraan kita.
Sebab berdasarkan dalil dan fakta historis, jika suatu negara membiarkan berlakunya sistem yang tidak mampu menegakkan ketidakadilan maka tinggal menunggu keruntuhannya. Diperlukan kesadaran kolektif para pemimpin untuk membelokkan situasi ini ke jalan demokrasi yang benar. Bukan demokrasi yang bisa diperalat untuk korupsi. Demokrasi yang sejati adalah "Menangkap dan memahami Seluruh Relung hati dan Kegelisahan Rakyat Tanpa Rakyat berbicara dan berpendapat, Karena Pemimpin Yang cerdas itu Adalah "Tidak menunggu rakyat bicara dan berpendapat, sebelum rakyat bicara Pemimpin sudah menyiapkan dan menyajikannya untuk kepentingan rakyat" bererti Demokrisasi belum mampu menghantarkan rakyat kepada keadilan kalau difahaminya Demokrisasi sebagai Asesoris, tapi kalau Demokrisasi difahami sebgai konsep paripurna (Faham Seluruhnya tatanan, suara hati rakyat, dan segala kebutuhannya) Demokrasi haruslah difahami dari Teks dan Konteks.

Bandung, 05 April 2018
Penulis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”