“Hukuman yang Mendidik Anak” (Menjadikan Hukuman Yang Mendidik Kepada Anak)

Penulis Sunyi : Yadi Jayadi
(Penulis: Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukuk (UIN SGD BDG), Sekretaris Umum HIMAT Cabang Bandung, Pimpinan Lembaga Pers Mahasiswa LENSA HIMAT, Pembina IKRAMA Al Muhajirin – Bandung. Pendidik DTA Mitra Muhajirin – Bandung)
Luqman, memberi nasihat kepada anaknya “Orangtua yang memukul anaknya sama seperti pupuk untuk tanaman”, Haram bin Hayyan ra. “Ya Allah, aku berlingdung kepadamu dari keburukan zaman, yang pada zaman itu anak kecil berontak, orang dewasa merencanakan kejahatan dan ajal mereka berdekatan”
“ Tidaklah suatu keluarga diberi kelembutan melainkan akan memberi manfaat pada mereka. Dan tidaklah sebaliknya melainkan akan memberi mudharat pada mereka (Sabda Rasulullah).
Al-Ghazali, “Anak kecil apabila dilalaikan pada awal pertumbuhannya, biasanya dia akan tumbuh dengan memiliki akhlak yang buruk: suka berdutsa, pendengki, suka mencuri, mengadu domba, suka mencampuri urusan orang lain, suka melecehkan orang lain dan suka menipu, semua itu bisa dihindarkan dengan pendidikan yang baik”.
Metode menghukum anak dalam rangka mendidik, apabila segala metode sudah dilakukan supaya sang anak tumbuh dengan baik dari segi akal maupun kejiwaan dan apabila itu tidak berhasil maka di gunakanlah metode hukuman untuk mendidik sang anak. Maka ini artinya si anak memerlukan pengobatan berupa hukuman, hal ini agar dia sadar bahwa masalahnya adalah masalah serius bukan masalah main-main.
Dengan demikian si anak akan merasakan pedihnya hukuman, dia dapat menyadari besarnya nilai kasih-sayang dan kelembutan yang dia dapatkan dari kedua orang tuannya sebelum dihukum. Dia juga dapat merasakan pentingnya ketaatan, sikap dan prilaku yang baik.
Namun harus kita pikirkan lebih matang lagi menggunakan metode hukuman dalam mendidik sang anak, kita harus tahu dasar-dasar dari hukuan itu sendiri?. Bagaimana seorang ayah menghukum anaknya sehingga sesuai dengan hadits nabi :
“Seorang ayah menghukum anaknya lebih baik bagi si anak dari pada memberinya sedekah satu sha”
Al-Kasani “Anak dihukum karena pendidikan, bukan siksaan. Seyogyanya anak harus mendapatkan pendidikan dan orang nomer satu dimuka bumi ini yakni Rasulullah telah bersabda : “ Perintahkanlah anak-anak kalian shalat apabila mencapai usia tujuh tahun dan pukul-lah mereka (apabila mereka meninggalkan shalat) pada usia sepuluh tahun”. Hal itu dilakukan sebagai metode pendidikan, bukan hukuman. Sebab, hukuman dikenakan atas prilaku kejahatan. Sementara prilaku anak kecil tidak disebut tindakan kejahatan. Berbeda lagi dengan orang gila dan anak kecil yang belum berakal, keduanya tidak termasuk kategori yang dihukum atau diberi pendidikan.
Hukuman bukanlah pembalasan dendam kepada sang buah hati, melainkan dari tujuan sebenarnya dari metode mendidik anak dengan hukuman adalah pendidiakn dan merupakan salah satu metode pendidikan.
Ibnu Jazzar al-Qairuwani mengatakn tentang pentingnya metode hukuman dalam mendidik anak “ Anak-anak sangatlah mudah dipimpin dan sangat gampang menerima” Apabila ada orang yang mengatakan seperti ini: ‘Kita dapat menemukan bahwa di antara anak-anak ada yang dapat menerima pengajaran, dan ada juga yang tidak bisa menerima pengajaran”.
Demikian juga kita melihat ada juga anak yang pemalu, dan ada juga yang tidak malu-malu. Diantara anak-anak yang sangat suka dan giat belajar, ada juga yang malas dan tidak suka belajar. Ada juga apabaila ia di puji, dia akan giat belajar. Ada juga yang baru mau belajar setelah dihardik oleh gurunya. Ada juga anak yang apabila di pukul dulu dia mau belajar. Demikianlah, kita temukan banyak perbedaan pada dunia anak antara suka dan tidak suka belajar. Terkadang kita juga temukan ada anak yang suka berbohong, ada juga yang suka berkata jujur. Sikap dan prilaku mereka pun masing-masing berbeda.
Hakikatnya tentang perbedaan pada anak dan pola seperti apakah pengajaran yang dapat mengubah tabiat mereka. Setiap orang memiliki fitrah baik karena semasa kecilnya diperhatikan dari mulai pengajarannya dan bahkan seseorang memiliki tabiat buruk ketika semasa kecilnya dilalaikan, sehingga kebiasaannya lebih condong kepada tabiat buruknya. Dapat kita simpulkan bahwasannya tabiat buruk tersebut pasti bukan berasal dari insting pembawaannya. Apabila dilakukan proses pengajaran dan pendidikan setelah tabiat buruk itu sudah menguasainya, maka tentu saja sulit untuk berubah.
Filosof, mengatakan “Mayoritas orang memperoleh tabiat buruk dan kebiasaan semasa kecil yang tidak diubah dengan pengajaran dan pendidikan yang dapat memperbaiki akhlak dan prilaku mereka” .
Proses mendidik dan mengajar anak diwaktu mereka masih kecil itu sangat dipentingkan, dewasa ini kita ketahui bersama sekolah-sekolah tingkat RA, DTA, TK dan yang lainnya sangat berjamur dan berakar ini menandakan bahwa pendidikan dan pengajaran sejak dini dan para orang tua sudah memahami sikologis anaknya. Barang siapa yang memberikan pendidikan dan perbuatan baik kepada anak di masa kecilnya, dia akan tumbuh dengan akhlak yang baik, dengan akhlak baik tersebut akan mendapatkan kemuliaan dan kecintaan serta mencapai puncak kebahagiaan, dan barang siapa yang meninggalkan semua itu tidak menghiraukannya, maka akibatnya sangtlah fatal.
Bagaimana kita sebagai orang tua untuk mengoreksi sang anak apabila sang anak mendapati dalam kesalahan dan seperti apakah efektifnya dalam mengoreksi kesalahan anak. Tidak diragukan lagi bahwa menemukan dan mencabut akar kesalahn dianggap sebagai suatu keberhasilan yang luar biasa dalam aktivitas pendidikan. Apabila kita perhatikan dari setiap kesalahan yang dilakukan kita temukan bahwa intinya bersandar pada tiga hal, pertama. Kesalahan dalam pemahaman, yaitu si anak tidak memiliki pemahaman yang benar tentang sesuatu, sehingga dia melakukan kesalahan pada sesuatu tersebut, kedua. Kesalahan dalam aplikasi, yaitu si anak tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan jari-jemarinya tidak terlatih untuk melakukan suatu pekerjaan sehingga dia melakukan kesalahan dan, ketiga. Kesalahan terletak pada diri si anak sendiri yang sengaja melakukan kesalahan atau si anak termasuk yang memiliki jiwa pemberontak. Oleh sebab itu, mencari inti kesalahan yang dilakukan cukup membantu memudahkan koreksinya.
Pertama. Apabila si anak tidak bisa dikoreksi kesalahannya pemahamannya dengan praktik secara langsung dan malah terus mengulanginya lagi kesalahan yang sama maka di anjurkan memberikan konsekwensinya (hukuman). Pada dasarnya anak akan takut apabila di hukum. Maka dengan hanya memperlihatkan alat yang akan menghukumnya saja kepada mereka, cukup untuk meluruskan dan mengoreksi kesalahan mereka. Akibatnya, prilaku mereka menjadi baik dan sesuai dengan apa yang sudah diajarkan. Rasulullah s.a.w. bersabda : “Bahwasanya Nabi s.a.w. memerintahkan untuk menggantungkan cambuk didalam rumah”,. “Gantungkanlah cambuk ditempat yang dapat dilihat seluruh anggota keluarga, sebab itu dapat membuat mereka menurut”.
Kedua. Mendidik dalam metode menghukum bisa dilakukan dengan menjewer daun telinga si anak tidak terlalu keras dan tidak terlalu pelan juga. Ini adalah hukuman fisik pertama untuk anak. Pada tahap ini si anak mulai mengenali kepedihan akibat melakukan kesalahan, yaitu telinganya dijewer. An-Nawawi ketika masa kecilnya “Ibuku mengutusku kepada Rasulullah s.a.w. dengan membawa seikat anggur. Namun, aku memaknnya sebagian sebelum sampai kepada beliau (Rasulullah). Ketika aku sudah bertemu beliau, beliau menjewer telingaku”
Ketiga. Apabila melihat Tongkat, Cambuk dan menjewer telinga tidak membawa dampak positif, sementara anak masih nakal dan melakukan kesalahan yang sama, maka dengan tahap ketiga ini diharapkan dapat meredam kenakalannya. Tetapi, pemukulan yang dilakukan apakah hanya dilakukan begitu saja sesuai dengan kemarahan orangtua atau para pengajar dengan tanpa panduan sama sekali? Atau perlu memiliki kaidah-kaidah tertentu yang harus diikuti agar memberikan hasil maksimal dan benar? Kesimpulannya kedua otangtua dan para pengajar dituntut untuk tidak terburu-buru dalam meluruskan prilaku anak. Apabila kita tahu bahwa si anak sedang berada dalam masa pertumbuhan jasmani dan akal, tentu apabila kita banyak memukul bisa berakibat buruk pada anggota tumbuhnya. Terkadang malah dapat merusak jiwa dan pola pikirnya.
Bisa dikatakn bahwa pukulan untuk pengajaran sama halnya dengan garam untuk makanan. Sedikit garam yang ditaburkan pada makanan dapat mengubah rasa makanan itu menjadi lebih lezat. Demikian halnya dengan pukulan dalam jumlah yang sedikit, itulah yang diminta dan dituntut dalam aktivitas pendidikan.
Alat apakah yang harus diperhatikan oleh parang orangtua dan para pengajar dan di area mana sajah orangtua dan para pengajar untuk memukul. Dilarang mempergunakan cambuk yang ujungnya berbuhul, bercabang dua atau tiga cabangnya, bentuknya sedang, antara ranting dan tongkat, kelembabannya sedang, tidak terlalu basah (agar tidak melukai kulit karena berat), dan tidak terlalu kering (agar tidak menyakitkan karena terlalu ringan), kulit, akar, kayu, kain dan lain-lain.
Cara memukul sang anka harus dilakukan secara menyebar (tidak terkumpul satu tempat), antara dua pukulan beruntun, harus ada jeda waktu agar rasa sakit dari pukulan yang pertama mereda, dan si pemukul tidak boleh mengangkat (alat pukul) terlalu tinggi-tinggi sampai terlihat ketiaknya, agar tidak begitu menyakitkan.
Meilaht bahwa pedoman-pedoman ini dibutuhkan agar pukulan yang dilakukan memberikan manfaat dalam pendidikan, sehingga si anak dapat menjadi lebih baik, bukan malah sebaliknya, dapat mencapai puncak kesempurnaan dan bukan malah membuat cacat. (Tidak boleh menghukumi dalam keadaan marah,)
Refrensi : Prophetic Parenting; Cara Nabi Mendidik Anak. 2010, Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Pro-U Media. Yogyakarta
   Bandung 17 Oktober 2010 (224)

Penulis Sunyi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”