“PRAM, 14 tahun sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan”

Penulis Sunyi : Yadi Jayadi

(Penulis Bergiat : Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum (UIN SGD BDG) Pimpian Umum LPM LENSA, Pembina Remaja Komplek Griya Mitra Posindo-Bandung, Guru DTA Mitra Muhajirin-Bandung)



“Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain”

“Kami memang orang miskin. Di mata orang kota kemiskinan itu kesalahan. Lupa mereka lauk yang dimakannya itu kerja kami”
Sumber: Rumah Kaca (1988)

“Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit”
Sumber: Anak Semua Bangsa (1981)


“Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai”

“Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”
Sumber: Jejak Langkah (1985)

“Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan”
Sumber: Bumi Manusia (1980)

“Jarang orang mau mengakui, kesederhanaan adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini: suatu karunia alam. Dan yang terpenting diatas segala-galanya ialah keberaniannya. Kesederhaan adalah kejujuran, dan keberanian adalah ketulusan”
Sumber: Mereka Yang Dilumpuhkan (1951)

Kutipan diatas buah karya dari  seorang sastrawan yang berpengaruh pada perkembangan sastra di Indonesia,  Putra sulung dari seorang kepala sekolah Institut Budi Oetomo ini telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa asing.  ialah Pramoedya Ananta Toer. Pram, sapaan akrabnya, kerap melakukan kritik kepada penguasa melalui tulisan, yang mengantarkannya keluar masuk tahanan. Pram pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa orde lama. Kemudian selama orde baru ia ditahan selama 14 tahun sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.  
Beberapa karya Pram dilarang untuk dipublikasikan karena dianggap mengganggu keamanan negara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno maupun Soeharto. Misalnya pada tahun 1960-an, ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-komunis Tiongkoknya. Bukunya yang berjudul Hoakiau di Indonesia dicabut dari peredaran, dan ia ditahan selama 14 tahun sebagai tahanan politik  di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia. Meskipun demikian, Pram mendapatkan banyak penghargaan dari lembaga-lembaga di luar negeri. Potret kehidupan Pram yang dibenci di negeri sendiri tetapi dihargai dunia membuatnya tetap optimis dan tidak pernah berhenti berkarya. 
            Sebagai putra sulung tokoh Institut Boedi Oetomo, Pram kecil malah tidak begitu cemerlang dalam pelajaran di sekolahnya. Tiga kali tak naik kelas di Sekolah Dasar, membuat ayahnya menganggap dirinya sebagai anak bodoh. Akibatnya, setelah lulus Sekolah Dasar yang dijalaninya di bawah pengajaran keras ayahnya sendiri, sang ayah, Pak Mastoer, menolak mendaftarkannya ke MULO (setingkat SLTP). Ia pun melanjutkan pendidikan di sekolah telegraf (Radio Vakschool) Surabaya, selama 1,5 tahun di 1940 hingga 1941. Pada tahun 1942, Pramoedya kemudian berangkat ke Jakarta dan bekerja sebagai tukang ketik di Kantor berita Jepang bernama 'Domei' pada saat masa kependudukan jepang di Indonesia. Sekaligus ia memantapkan pilihannya untuk menjadi seorang penulis. Ia telah menghasilkan artikel, puisi, cerpen, dan novel sehingga melambungkan namanya sejajar dengan para sastrawan dunia.
            Dari sederet karya-karyanya ia pun meraih penghargaan Ramon Magsaysay Award pada 1995 di Filipina yang sempat menimbulkan polemik di Indonesia sampai Pablo Neruda Award di Chili. Mengenai belum berhasilnya ia merebut Nobel Sastra itu, seorang tokoh sastra Indonesia pernah mengatakan bahwa sebenarnya dulu Pram pernah hampir dapat meraih penghargaan tersebut, sebelum seorang tokoh yang berpengaruh di Indonesia mendatangi juri-juri penilai nobel tersebut dan membisikkan kalimat "Pramoedya is". polemik ini melibatkan 26 tokoh sastra Indonesia diberitakan menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Tokoh-tokoh tersebut protes karena Pram dianggap tidak pantas untuk menerima penghargaan Ramon Magsaysay.
Dalam banyak karyanya seperti novel "Arok Dedes", "Tetralogi Buru", "Di Tepi Kali Bekasi", "Jalan Raya Pos Jalan Daendels", dll., Pram terbukti sebagai seorang sejarawan handal yang menawarkan cara pandang sejarah yang berbeda. Sementara sejarah yang ada selama ini menurutnya hanyalah sejarah para penguasa dan peperangan, ia pun selalu berusaha memotret dan menggali sejarah dari sudut pandang rakyat dan kaum jelata.
Bahkan ketika  kondisi kesehatan membuatnya tak dapat menulis lagi, tapi ia tak kehilangan kreativitasnya dengan mengumpulkan kliping untuk proyek ensiklopedia Nusantara yang tebalnya bahkan telah mencapai 4 meter! Proyek itu sendiri rencananya akan mulai dikerjakan dengan uang honor yang akan diterima jika ia menerima penghargaan Nobel.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut. Tepatnya pada 27 April 2006 kesehatan Pram memburuk. Ia didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah dijangkitnya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Upaya keluarga untuk merujuknya ke rumah sakit tidak membawa banyak hasil, malah kondisinya semakin memburuk dan akhirnya meninggal pada 30 April 2006 di Jakarta.
Itulah selintas mengenal Pram (Pramoedya Ananta Toer), ia Lahir di Blora, jawa Barat tepatnya pada tanggal  6 Februari 1925 hari Jum’at Ayah yang bernama  M. Toer dan ibunya Maemunah Thamrin
                                                Bandung, Kamis 27 April 2017 (Penulis Sunyi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

“Menanamkan Cinta Ilmu Kepada Anak”